Bukan menjadi rahasia lagi bahwa masyarakat sekarang bergantung
pada layanan bank dalam berbagai aspek, mulai dari kebutuhan konsumtif hingga
pembiayaan usaha produktif. Tingginya kebutuhan terhadap fasilitas kredit
membuat bunga bank semakin mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Bagi sebagian
masyarakat, membayar bunga dianggap sebagai konsekuensi alami dari pinjaman,
tanpa mempertimbangkan aspek keadilan dalam hubungan ekonomi tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa praktik bunga telah menjadi sebuah norma sosial yang diterima
luas.
Fenomena bunga bank merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari sistem ekonomi modern. Bank berperan sebagai lembaga keuangan yang
menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya kembali dalam bentuk pinjaman
berbunga. Sistem ini dipandang efektif dalam mendorong mobilitas dana,
mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan akses masyarakat terhadap
pembiayaan.
Dengan kata lain sistem ekonomi konvensional memandang bunga
sebagai kompensasi atas waktu dan risiko yang terkait dengan pinjaman, di mana
bunga menjadi instrumen utama dalam transaksi keuangan. Studi dari
(Segovia-Vargas :2023) menunjukkan bahwa bunga mendorong individu dan entitas
untuk meminjam atau menyimpan uang, yang pada gilirannya berfungsi sebagai
penggerak dalam sistem keuangan untuk menjaga likuiditas dan efisiensi pasar.
Sistem ini menganggap bunga sebagai bagian integral yang menstabilkan dan memperlancar
aliran modal dalam ekonomi.[1]
Meski demikian, dari sudut pandang keislaman, fenomena ini
membutuhkan kajian mendalam karena menyangkut persoalan hukum yang sensitif.
Islam memandang transaksi keuangan tidak hanya dari sisi keuntungan ekonomi,
tetapi juga dari keadilan dan keberkahan. Oleh karena itu, praktik bunga yang
bersifat memaksa dan menambah beban peminjam menimbulkan banyak pertanyaan
tentang kesesuaiannya dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.
Riba dalam Bunga Bank
Dalam Islam segala bentuk tambahan atas pokok utang yang
disyaratkan sejak awal dikategorikan sebagai riba. Jika bunga bank memenuhi
karakteristik tersebut, maka keberadaannya perlu dikaji kembali, baik dari sisi
legalitas syariah maupun dampak sosial-ekonominya. Istilah riba telah
lama menjadi perbincangan hangat dalam dunia Islam. Pembahasan tentangnya
begitu hidup hingga sering muncul kesan bahwa larangan terhadap riba adalah
doktrin yang khas milik Islam semata.
Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, larangan praktik riba bukan
hanya bagian dari ajaran Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Cyril Glasse,
seorang Muslim asal Amerika dalam ensiklopedia karyanya, kenyataannya tidak ada
satu pun negara Islam modern yang benar-benar menerapkan hukum larangan riba
secara menyeluruh. Selama lebih dari satu milenium, para teolog, cendekiawan,
bahkan sistem hukum di Barat menolak keras praktik riba, sebagaimana yang juga
ditemukan dalam ajaran Islam. Dengan demikian, larangan riba sesungguhnya bukan
monopoli pemikiran Islam, melainkan bagian dari nilai moral universal yang
menentang ketidakadilan dan penindasan ekonomi.[2]
Tambahan yang bersifat pasti dan mengikat ini dinilai tidak sejalan
dengan prinsip keadilan. Bank memperoleh keuntungan stabil tanpa menanggung
risiko sedikit pun, sedangkan peminjam harus menanggung seluruh risiko
kegagalan usaha. Jika usaha peminjam mengalami kerugian, kewajiban membayar
bunga tetap berjalan dan bahkan bertambah apabila terjadi keterlambatan. Dalam
perspektif ekonomi Islam, mendapatkan keuntungan tanpa risiko dianggap sebagai
bentuk ketidakadilan yang bertentangan dengan nilai-nilai syariah.
Riba dalam bunga bank juga menimbulkan dampak sosial-ekonomi yang
luas. Praktik bunga dapat memperbesar kesenjangan antara kelompok kaya dan
miskin. Mereka yang memiliki modal besar memperoleh keuntungan dari bunga,
sementara yang membutuhkan modal justru terbebani oleh sistem pembayaran yang
menjerat. Akibatnya, sistem bunga dapat menciptakan lingkaran utang yang
berkepanjangan dan memperlebar ketimpangan ekonomi.
Prinsip Ekonomi Islam
Ekonomi Islam dibangun di atas prinsip keadilan (‘adl),
keseimbangan (tawazun), dan keterbukaan dalam transaksi (transparansi).
Prinsip-prinsip ini bertujuan menciptakan sistem ekonomi yang tidak hanya
berorientasi pada keuntungan materi, tetapi juga memperhatikan nilai moral, keberkahan,
dan kesejahteraan sosial. Dalam kerangka ini, setiap transaksi harus bebas dari
unsur riba, gharar, dan maisir agar tidak mengakibatkan kerugian dan
ketidakpastian bagi salah satu pihak. Salah satu prinsip fundamental dalam
ekonomi Islam adalah al-ghunmu bil ghurmi, yang berarti keuntungan harus
sejalan dengan risiko. Prinsip ini menegaskan bahwa tidak ada pihak yang boleh
memperoleh keuntungan tanpa turut menanggung risiko dalam kegiatan ekonomi.
Sistem bunga bank bertentangan dengan prinsip ini, karena keuntungan diperoleh
bank secara pasti tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi peminjam.
Ketidakselarasan risiko ini dipandang sebagai sumber ketidakadilan ekonomi.[3]
Ekonomi Islam juga menekankan distribusi kekayaan yang merata.
Kekayaan tidak boleh berputar hanya di kalangan tertentu, melainkan harus
tersebar agar tidak menumpuk pada sekelompok orang. Sistem bunga bank
berpotensi memusatkan kekayaan pada pemilik modal, karena bunga mengalir dari
peminjam ke bank secara terus-menerus. Hal ini dapat menyebabkan konsentrasi
kekayaan dan mengurangi kesempatan ekonomi bagi kelompok yang kurang mampu.
Selain itu, ekonomi Islam memberikan berbagai alternatif transaksi
yang lebih adil, seperti mudharabah, musyarakah, murabahah,
dan ijarah. Akad-akad ini dirancang untuk menciptakan hubungan
kemitraan, bukan dominasi. Keuntungan diperoleh melalui aktivitas riil dan
dipikul bersama berdasarkan kesepakatan yang jelas. Dengan demikian, ekonomi
Islam menawarkan solusi nyata bagi permasalahan ketidakadilan yang muncul dalam
sistem bunga bank. Prinsip-prinsip tersebut menunjukkan bahwa ekonomi Islam
tidak menolak kemajuan, tetapi mengarahkan sistem ekonomi agar berlandaskan
pada nilai etika dan moralitas. Oleh karena itu, kajian terhadap bunga bank
harus selalu dikaitkan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam agar dapat
menghasilkan pemahaman yang menyeluruh dan aplikatif dalam kehidupan modern.
4.
Pentingnya Penafsiran Tematik dalam Mengembangkan Ekonomi Islam
Penafsiran tematik atau tafsir maudhu’i merupakan metode
yang menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an sesuai tema tertentu kemudian dianalisis
secara komprehensif. Dalam konteks ekonomi Islam, terutama mengenai riba dan
bunga bank, metode ini sangat penting karena ayat-ayat terkait tersebar di beberapa
surah dan tidak dapat dipahami secara parsial. Dengan menghimpun semuanya,
pemahaman terhadap larangan riba menjadi lebih jelas, mendalam, dan menyeluruh.
Metode tematik membantu menghubungkan ayat-ayat riba dengan
ayat-ayat lain yang berbicara tentang keadilan, amanah, transaksi ekonomi,
serta tujuan syariah. Melalui pendekatan ini, kajian tentang bunga bank tidak
hanya berhenti pada hukum secara tekstual, tetapi juga melihat tujuan moral dan
sosial dari larangan tersebut. Hal ini penting karena persoalan bunga bank
tidak hanya berkaitan dengan teks, tetapi juga dampaknya terhadap kehidupan
masyarakat modern.
Penafsiran tematik juga memberikan kerangka ilmiah yang kuat dalam
membangun ekonomi Islam kontemporer. Dengan pendekatan ini, para ulama dan
akademisi dapat merumuskan hukum dan kebijakan ekonomi yang relevan dengan
realitas zaman, tanpa mengabaikan prinsip dasar ajaran Al-Qur’an. Metode ini
menghubungkan antara teks dan konteks, sehingga menghasilkan keputusan hukum
yang bijaksana dan tepat sasaran. Pentingnya tafsir tematik menunjukkan bahwa
pengembangan ekonomi Islam tidak dapat terlepas dari kajian mendalam terhadap
Al-Qur’an secara menyeluruh. Melalui pendekatan sistematis ini, umat Islam
dapat memahami hakikat larangan riba dan menemukan sistem keuangan yang lebih
adil, sehingga mampu menjadi alternatif yang solutif bagi masalah keuangan
modern.
BHubungan Bunga Bank
dan Riba
Secara bahasa, kata bunga bank dalam
perspektif Islam sering dikaitkan dengan istilah riba, yang berasal dari akar
kata rabaa yang berarti tambahan (az ziyadah),berkembang (an-numuw), membesar
(al-‘uluw) dan meningkat (al-irtifa’). Secara istilah, riba merujuk pada
kelebihan atau tambahan yang diterima dari pinjaman atau transaksi tertentu
secara tidak sah, yang memberatkan pihak lain dan bertentangan dengan prinsip
keadilan[4].
Sementara itu Syekh Abduh Muhammad
mengartikan riba sebagai tambahan yang diwajibkan oleh orang yang memiliki
harta kepada orang yang meminjam hartanya karena penunjukan pembayaran oleh
peminjam terlambat dari waktu yang telah ditentukan. Pengertian Syekh Muhammad
Abduh yang paling sesuai dengan konteks adalah dilarang riba. Karena dalam
konteks penurunan ayat riba, suatu tindakan disebut riba karena adanya
permintaan pembayaran tambahan dari pemilik modal kepada peminjam tanpa
kesepakatan awal. Ini berarti bahwa pembayaran tambahan diminta di satu sisi
tanpa persetujuan peminjam. Konsep riba dikenal dengan riba nasi'ah, dan inilah
bentuk riba yang dilarang oleh Al Qur’an.[5]
Dalam praktik perbankan modern, bunga
bank adalah imbalan yang diterima bank dari nasabah yang meminjam uang,
biasanya berupa persentase dari jumlah pokok pinjaman. Sistem ini membuat
jumlah yang harus dibayar nasabah menjadi lebih besar daripada jumlah uang yang
dipinjam, sehingga termasuk riba menurut syariat Islam.
Al-Qur’an secara tegas melarang praktik
riba, karena dianggap merugikan pihak yang lemah dan menguntungkan pihak
tertentu secara sepihak. Allah SWT berfirman: [6]
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا
كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ…
‘Orang-orang yang memakan riba tidak akan bangkit melainkan seperti orang
yang diganggu setan karena penyakit gila’ (QS.
Al-Baqarah: 275)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT
menekankan kerasnya larangan riba. Bunga bank, yang menuntut nasabah membayar
lebih dari jumlah pokok pinjaman, termasuk dalam kategori tersebut karena
menimbulkan ketidakadilan bagi peminjam. Oleh karena itu, transaksi berbasis
bunga dianggap haram dan bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dalam
Islam.
Selain Al-Qur’an, Rasulullah SAW juga menegaskan
larangan riba melalui hadits-haditsnya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
لَعَنَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ
وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberi riba,
pencatatnya, dan saksi untuk transaksi riba, seraya berkata: Mereka semua sama. (HR.
Muslim)”
Hadits ini menunjukkan bahwa seluruh
pihak yang terlibat dalam transaksi berbasis riba baik yang memberi, menerima,
maupun membantu administrasinya mendapat dosa yang sama. Dengan demikian,
praktik bunga bank konvensional yang memaksa nasabah membayar lebih dari
pinjaman pokok termasuk dalam larangan ini.
Dari perspektif fiqih, bunga bank
menimbulkan ketidakadilan ekonomi, karena keuntungan sepihak hanya dinikmati
bank, sementara nasabah menanggung risiko penuh. Dalam Islam, prinsip keadilan
dan keseimbangan ekonomi harus dijaga, sehingga transaksi yang menimbulkan
tambahan tidak sah seperti bunga bank dikategorikan haram. Alternatif yang
diperbolehkan adalah transaksi berbasis bagi hasil (mudharabah atau
musyarakah), di mana keuntungan dan risiko dibagi secara adil antara pihak
pemodal dan pihak pengelola usaha.
Berdasarkan hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa bunga bank konvensional tidak sesuai dengan ajaran Islam,
karena termasuk riba yang jelas dilarang oleh Al-Qur’an dan Hadits. Umat Islam
dianjurkan menggunakan sistem keuangan syariah yang berlandaskan keadilan,
keseimbangan, dan saling menguntungkan, sehingga setiap transaksi memenuhi
prinsip moral dan sosial yang ditetapkan dalam syariat Islam.
Mesipun demikian terdapat juga tokoh yang
menyebutkan bahwa bunga bank masih dperbolehkan, seperti Fazlur Rahman yang menyebut
riba yang dilarang adalah riba
jahiliyyah yang bersifat eksploitatif terhadap kaum ekonomi lemah. Jika bank
tidak menerapkan tambahan yang berlipat ganda Fazlur memandangnya dapat
dibenarkan. Baginya, pelarangan riba lebih terkait dengan mencegah eksploitasi
terhadap kaum lemah. Sependapat dengan Fazlur, Abdullah Saeed juga mengakui bunga bank dengan
alasan bahwa praktik bunga bank modern berbeda dengan riba pada masa pra-Islam.
Ia melihat bunga saat ini dapat memberikan manfaat kepada masyarakat Islam yang
lemah tanpa adanya penganiayaan.[7]
C.
Metode Tafsir Maudhu’i
Metode tafsir
maudhu’i adalah pendekatan penafsiran Al-Qur’an yang menghimpun seluruh ayat
terkait tema tertentu kemudian dianalisis secara menyeluruh. Metode ini menjadi
penting karena Al-Qur’an tidak disusun berdasarkan tema, melainkan turun secara
bertahap sesuai kebutuhan umat. Dengan demikian, untuk memahami suatu konsep
secara komprehensif, mufasir perlu mengumpulkan seluruh ayat yang relevan dan
meneliti hubungan maknanya. Dalam kajian riba dan bunga bank, metode tematik
menjadi sangat relevan karena ayat-ayat tentang riba tersebar dalam beberapa
surah. Diantara surat yang berkaitan dengan kajian riba dan bunga bank
sebagaimana berikut;
1. QS. Al-Baqarah :275 tentang Larangan Riba
وَٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَا لَا
يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَـٰنُ مِنَ
ٱلْمَسِّ ۚ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَا ۗ
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَا
“Orang-orang yang memakan riba tidak akan
bangkit melainkan seperti orang yang diganggu setan karena penyakit gila…
Tetapi Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat ini
menjelaskan bahwa riba adalah praktik ekonomi yang merusak keseimbangan sosial
dan moral masyarakat. Dalam konteks modern, bunga bank konvensional termasuk
riba karena nasabah diwajibkan membayar tambahan di atas pokok pinjaman,
sementara bank menerima keuntungan tanpa berbagi risiko yang setara. Akibatnya,
terjadi ketimpangan antara pihak pemberi pinjaman dan penerima pinjaman.
Larangan ini
juga membedakan secara tegas antara transaksi halal (jual beli) dan transaksi
haram (riba). Jual beli yang sah menekankan prinsip keadilan, kesetaraan, dan
manfaat bersama, sementara bunga bank memberi keuntungan sepihak kepada bank.
Praktik ini menyebabkan ketidakadilan sosial, menumpuk kekayaan pada segelintir
pihak, dan menimbulkan tekanan ekonomi pada peminjam.
Dari perspektif
tafsir maudhu’i, ayat ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
eksploitasi ekonomi dan menegakkan kesejahteraan sosial. Larangan riba
memberikan pesan moral dan sosial yang mendalam, mendorong umat Islam
menggunakan sistem keuangan berbasis bagi hasil yang adil bagi semua pihak,
sehingga menciptakan keseimbangan ekonomi yang berkelanjutan. [8]
2. QS.
Al-Baqarah :278-279 tentang Kewajiban Meninggalkan Riba
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ
الرِّبَا إِن كُنتُم مُؤْمِنِينَ ۚ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ
مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian tidak meninggalkannya, maka
ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.”
Ayat ini
menegaskan kewajiban total untuk meninggalkan riba, termasuk bunga bank
konvensional. Sistem bunga bank memaksa peminjam membayar tambahan secara
otomatis tanpa adanya risiko bersama, bertentangan dengan prinsip keadilan dan
tanggung jawab sosial dalam Islam. Larangan ini menunjukkan bahwa riba bukan
sekadar masalah hukum, tetapi juga masalah moral, sosial, dan ekonomi.
Secara ekonomi,
praktik bunga bank dapat menyebabkan ketimpangan sosial yang signifikan. Pihak
bank selalu diuntungkan, sedangkan nasabah menanggung beban yang meningkat,
terutama jika mereka gagal membayar tepat waktu. Ketimpangan ini sering
menimbulkan kemiskinan, stres, dan konflik sosial, yang menunjukkan kegagalan
ekonomi bank konvensional untuk menerapkan prinsip keadilan dan keseimbangan.
Tafsir maudhu’i
ayat ini juga menekankan pentingnya penerapan prinsip ekonomi Islam yang adil.
Sistem syariah, seperti mudharabah atau musyarakah, menekankan pembagian risiko
dan keuntungan secara proporsional, sehingga semua pihak mendapatkan hak yang setara.
Dengan demikian, distribusi kekayaan lebih merata, potensi eksploitasi
diminimalkan, dan kesejahteraan masyarakat meningkat.
3. QS. An-Nisa
4:161 tentang Kezaliman Mengambil Riba[9]
وَلِأَنَّهُمْ أَخَذُوا۟ ٱلرِّبَا وَهُمْ يَحْرُمُونَهُ وَأَكَلُوا۟
أَمْوَـٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلْبَـٰطِلِ
“Dan karena mereka mengambil
riba padahal dilarang bagi mereka, dan memakan harta manusia dengan cara yang
batil.”
Ayat ini
menegaskan bahwa riba adalah pengambilan harta secara tidak sah dan merugikan
pihak lain. Bunga bank konvensional termasuk kategori ini karena bank menerima
tambahan dari nasabah tanpa memberikan kompensasi adil atau berbagi risiko
usaha. Praktik semacam ini menyebabkan ketimpangan ekonomi dan menimbulkan
ketidakadilan dalam masyarakat.
Larangan ini
memiliki tujuan ekonomi dan sosial yang jelas, yaitu mencegah penumpukan
kekayaan pada segelintir orang, melindungi hak-hak peminjam, dan menegakkan
prinsip keadilan dalam transaksi. Riba membuat hubungan ekonomi menjadi
timpang, merusak solidaritas sosial, dan melemahkan perekonomian masyarakat
secara keseluruhan.
Hikmah dari
ayat ini adalah umat Islam dianjurkan untuk menghindari bunga bank dan
menggunakan sistem keuangan syariah yang menekankan keadilan, keterbukaan, dan
distribusi risiko. Dengan penerapan sistem syariah, risiko dan keuntungan
dibagi secara proporsional, kegiatan ekonomi berjalan seimbang, dan
kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Implementasi ini juga mencegah
kegagalan sistem ekonomi yang sering terjadi akibat praktik bunga tinggi yang
memberatkan peminjam.
4. QS. Ar Rum:
39 tentang larangan Riba sebagai pemutus pahala Allah
وَمَآ اٰتَيْتُمْ مِّنْ رِّبًا لِّيَرْبُوَا۟ فِيْٓ
اَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُوْا عِنْدَ اللّٰهِ ۚوَمَآ اٰتَيْتُمْ مِّنْ
زَكٰوةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُضْعِفُوْنَ
“Riba yang kamu berikan agar berkembang
pada harta orang lain, tidaklah berkembang dalam pandangan Allah. Adapun zakat
yang kamu berikan dengan maksud memperoleh keridaan Allah, (berarti) merekalah
orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (QS. Ar Rum : 39)
Menurut ayat ini bahwa suatu riba yang
ditambahkan dalam setiap harta, tidaklah menambah pahala di sisi Allah
sebagaimana yang diyakini oleh masyarakat Jahiliyah (Makkah) pada waktu itu.
Oleh karena itu, para Mufassir klasik memaknai riba yang dimaksud dalam ayat
ini adalah suatu pemberian yang sifatnya sukarela (tabarru’) saja, karena
sungguh tidak berarti apa-apa di sisi Allah. [10]
D.
Kaitan Bunga Bank, Riba, dan Ekonomi Islam
Bunga bank
memiliki hubungan yang sangat erat dengan konsep riba yang dilarang dalam
Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai kajian fikih dan ekonomi syariah,
bunga bank berpotensi termasuk riba karena adanya tambahan yang disyaratkan
atas pokok pinjaman. Dalam ekonomi Islam, riba dipandang sebagai praktik yang
merusak karena menimbulkan ketidakadilan dan memanfaatkan kelemahan pihak
peminjam.
Yusuf Qaradhawi
menegaskan dalam Islam dengan keras dan tegas sudah melarang dan mengharamkan
riba. Larangan dan keharaman ini didasarkan pada dalil yang pasti (qathi’i) dan
jelas tertuang di al-Quran dan hadis, yang mustahil menafsir atau mengubah
seenaknya, walaupun dengan alasan kebaruan hukum atau hasil ijtihad. [11] Ketidakadilan ini ditegaskan dalam hadis
Rasulullah SAW yang menyebutkan:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟
قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ
اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ،
وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَوْلُ الزُّورِ وَالشَّهَادَةُ
“Jauhilah tujuh perkara yang merusak: syirik kepada Allah, sihir,
membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan hak, memakan riba, memakan
harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina perempuan mukminah
yang suci tanpa bukti.” (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa riba termasuk
dosa besar karena menimbulkan ketidakadilan ekonomi dan merugikan pihak lain.
Dalam konteks ekonomi Islam, bunga bank konvensional tidak diperbolehkan karena
menimbulkan keuntungan sepihak bagi pemberi pinjaman, sementara peminjam
menanggung seluruh risiko. Hal ini bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam
yang menekankan keadilan, keseimbangan, dan distribusi risiko.
Maryam mengutip pernyataan Karnaen A.
Perwataatmaja yang menyebutkan alas an bunga bank tidak sesuai dengan prinsip
Islam dengan tiga hal, antara lain;[12]
1.
Dengan
penetapan bunga terlebih dahulu, berarti seakan bank telah memastikan kreditur
akan memperoleh untung dengan pinjaman modal tersebut. Hal ini tentunya
mendahului takdir tuhan. Karena untung dan rugi adalah faktor nasib yang belum
bisa dipastikan. (lihat QS Lukman (:34).
2.
Dengan
penetapan bunga dalam bentuk persentase, maka secara matematis bila dipadukan
dengan ketidakpastian dihadapi manusia seiring dengan perjalanan waktu, maka
akan berakibat utang menjadi berlipat ganda. Dan ini tentu bertentangan dengan
QS Ali Imran (3):130.
3.
Dengan
penetapan bunga dalam kredit berarti sama dengan memperdagangkan atau
menyewakan yang sama jenis (uang dengan uang) lalu memperoleh
kelebihan/keuntungan kualitas atau kuantitas. Dan ini hukumnya adalah riba.
Ekonomi Islam menekankan bahwa setiap
transaksi harus adil, transparan, dan tidak merugikan pihak mana pun. Transaksi
yang adil adalah bagian dari amal saleh dan perbuatan mulia. Sistem bunga bank
konvensional tidak memenuhi prinsip ini karena keuntungan bank bersifat pasti,
sementara risiko gagal bayar atau kerugian usaha sepenuhnya dibebankan kepada
nasabah. Sebaliknya, sistem ekonomi Islam seperti mudharabah atau musyarakah
menekankan pembagian risiko dan keuntungan secara proporsional, sehingga kedua
belah pihak mendapatkan manfaat dan tanggung jawab sesuai kesepakatan.
Selain aspek ekonomi dan moral, larangan
riba juga untuk mencegah ketimpangan sosial. Praktik bunga bank yang tinggi
dapat menjerumuskan masyarakat ke dalam utang yang memberatkan, meningkatkan
kesenjangan sosial, dan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,
ekonomi Islam menekankan sistem keuangan berbasis keadilan dan bagi hasil, yang
menjamin risiko dan keuntungan dibagi secara adil, transaksi dilakukan dengan
transparan, dan masyarakat mendapatkan kesejahteraan merata.
Di sisi lain, salah satu kritik utama
terhadap sistem bunga dalam ekonomi konvensional adalah potensi ketidakadilan
sosial. Studi dari (Schairer, 2024) menunjukkan bahwa bunga dapat memperparah
ketidaksetaraan, karena mereka yang berada dalam posisi keuangan yang lebih
kuat mendapatkan bunga yang lebih menguntungkan, sedangkan mereka yang kurang
beruntung membayar bunga yang tinggi untuk pinjaman. Ekonomi Islam berusaha
untuk mengatasi hal ini dengan mendorong sistem berbasis bagi hasil, yang
memungkinkan distribusi kekayaan yang lebih adil dan menghindari eksploitasi.[13]
Dengan demikian, hubungan antara bunga bank, riba, dan ekonomi
Islam sangat jelas. Bunga bank memiliki karakteristik riba yang dilarang dalam
agama, dan praktiknya bertentangan dengan prinsip keadilan yang menjadi dasar
ekonomi Islam. Oleh sebab itu, ekonomi Islam mendorong penerapan sistem
keuangan yang bebas dari bunga dan mengembangkan alternatif berbasis syariah
yang lebih adil dan sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
Penutup
Kajian mengenai
bunga bank dan riba menunjukkan bahwa praktik tambahan atas pokok pinjaman yang
bersifat pasti sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dalam
ekonomi Islam. Dalam Islam, setiap transaksi harus dilandasi oleh kejujuran,
transparansi, dan pembagian risiko yang proporsional. Keuntungan tidak boleh
diperoleh tanpa adanya kontribusi usaha atau keterlibatan dalam risiko. Sistem
bunga bank modern gagal memenuhi prinsip ini, karena memberikan keuntungan
tetap kepada bank sementara peminjam menanggung seluruh risiko ekonomi.
Melalui metode
tafsir maudhu’i, larangan riba dapat dipahami secara lebih mendalam dan
komprehensif. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang riba, keadilan
ekonomi, dan distribusi harta menunjukkan bahwa Islam sangat menentang segala
bentuk praktik keuangan yang menimbulkan ketidakadilan dan eksploitasi. Bunga
bank, karena sifatnya yang menekan peminjam dan tidak mencerminkan prinsip
kemitraan, termasuk dalam kategori praktik yang sejalan dengan riba al-qardh
dan riba nasiah.
Dampak sosial
dari bunga bank juga patut menjadi perhatian. Sistem bunga dapat menyebabkan
ketimpangan ekonomi, memperberat beban masyarakat, dan menghambat pemerataan
kesejahteraan. Ekonomi Islam menginginkan sistem yang mengedepankan distribusi
harta yang merata, kemaslahatan masyarakat, dan perlindungan bagi pihak yang
lemah. Oleh sebab itu, ekonomi Islam menawarkan berbagai solusi transaksi
seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, dan ijarah sebagai alternatif yang
lebih adil dan sesuai syariah.
Kajian ini
menegaskan pentingnya umat Islam memahami hakikat bunga bank dan posisi
hukumnya dalam syariat. Pengetahuan yang benar akan membantu masyarakat memilih
transaksi yang sesuai dengan prinsip keadilan dan menghindari praktik yang
dilarang agama. Selain itu, lembaga keuangan syariah perlu terus dikembangkan
sebagai alternatif bagi sistem bunga konvensional agar masyarakat memiliki
pilihan transaksi yang lebih aman secara syariah.
Secara
keseluruhan, pembahasan ini menunjukkan bahwa bunga bank modern tidak hanya
mengandung unsur riba, tetapi juga tidak sesuai dengan tujuan ekonomi Islam
yang mengedepankan keadilan, kemitraan, dan kesejahteraan sosial. Pengembangan
ekonomi Islam melalui kajian akademik dan penerapan sistem keuangan syariah
menjadi langkah penting dalam menghadirkan sistem ekonomi yang lebih manusiawi
dan sesuai dengan nilai-nilai wahyu.
DAFTAR
PUSTAKA
[1] Baso R, Uang Dan Bunga Dalam Perspektif Islam,
`Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 9
No. 2 2024, Hal 581
[1] Bukhari, Riba Dalam Perspektif Islam, Jurnal TAHQIQA,
Vol.14, No.1, Januari 2020, Hal 41.
[1] Muh. Arafah, Bunga Bank Bukan Riba Yang
Diharamkan: Sebuah Analisis Pendapat Para Ahli, Jurnal Hukum Ekonomi
Syariah, Vol.4 No.2, Juli-Desember 2023, Hal 118
[1] Abdul Waid, Bunga Bank Dalam Pandangan Islam,
LABATILA: Jurnal Ilmu Ekonomi Islam Vol: 1, No. 1, Desember 2017, Hal 76
[1] Abd.
Wahid, Bunga Bank Konvensional Analisis Ulama Perspektif Ushul Fiqh,
SAUJANA: Jurnal Perbankan Syariah dan Ekonomi Syariah Vol. 03 No. 01, (Mei,
2021), Hal 72
[1] Abd. Wahid, Hal 73
[1] Muh. Arafah, Bunga Bank Bukan Riba Yang
Diharamkan: Sebuah Analisis Pendapat Para Ahli, Jurnal Hukum Ekonomi
Syariah, Vol.4 No.2, Juli-Desember 2023, Hal 122
[1] [1]
Abdul Waid, Hal 78
[1] Mashuri,
ANALISIS
DAMPAK BUNGA BANK (RIBA) BAGI PEREKONOMIAN NEGARA, Vol 6 No 1 (2017): IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi,, Hal 99
,
[1] Hj.
Maryam, Riba Dan Bunga Bank Dalam Islam, JURNAL PILAR: Jurnal Kajian
Islam Kontemporer Volume 01 , No. 2, Desember 2010, Hal 60
[1] Muh.
Arafah, Bunga Bank Bukan Riba Yang Diharamkan: Sebuah Analisis Pendapat Para
Ahli, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Vol.4 No.2, Juli-Desember 2023, Hal 120
[1] Hj. Maryam, Riba Dan Bunga Bank Dalam Islam,
JURNAL PILAR: Jurnal Kajian Islam Kontemporer Volume 01 , No. 2, Desember 2010,
Hal 63
[1] Baso R, Uang Dan Bunga Dalam Perspektif Islam,
`Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 9
No. 2 2024, Hal 582
[1] Baso R, Uang Dan Bunga Dalam Perspektif Islam,
`Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 9
No. 2 2024, Hal 581
[2] Bukhari, Riba Dalam Perspektif Islam, Jurnal TAHQIQA,
Vol.14, No.1, Januari 2020, Hal 41.
[3] Muh. Arafah, Bunga Bank Bukan Riba Yang
Diharamkan: Sebuah Analisis Pendapat Para Ahli, Jurnal Hukum Ekonomi
Syariah, Vol.4 No.2, Juli-Desember 2023, Hal 118
[4] Abdul Waid, Bunga Bank Dalam Pandangan Islam,
LABATILA: Jurnal Ilmu Ekonomi Islam Vol: 1, No. 1, Desember 2017, Hal 76
[5] Abd.
Wahid, Bunga Bank Konvensional Analisis Ulama Perspektif Ushul Fiqh,
SAUJANA: Jurnal Perbankan Syariah dan Ekonomi Syariah Vol. 03 No. 01, (Mei,
2021), Hal 72
[6] Abd. Wahid, Hal 73
[7] Muh. Arafah, Bunga Bank Bukan Riba Yang
Diharamkan: Sebuah Analisis Pendapat Para Ahli, Jurnal Hukum Ekonomi
Syariah, Vol.4 No.2, Juli-Desember 2023, Hal 122
[8] [8]
Abdul Waid, Hal 78
[9] Mashuri,
ANALISIS
DAMPAK BUNGA BANK (RIBA) BAGI PEREKONOMIAN NEGARA, Vol 6 No 1 (2017): IQTISHADUNA: Jurnal Ilmiah Ekonomi,, Hal 99
,
[10] Hj.
Maryam, Riba Dan Bunga Bank Dalam Islam, JURNAL PILAR: Jurnal Kajian
Islam Kontemporer Volume 01 , No. 2, Desember 2010, Hal 60
[11] Muh.
Arafah, Bunga Bank Bukan Riba Yang Diharamkan: Sebuah Analisis Pendapat Para
Ahli, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Vol.4 No.2, Juli-Desember 2023, Hal 120
[12] Hj. Maryam, Riba Dan Bunga Bank Dalam Islam,
JURNAL PILAR: Jurnal Kajian Islam Kontemporer Volume 01 , No. 2, Desember 2010,
Hal 63
[13] Baso R, Uang Dan Bunga Dalam Perspektif Islam,
`Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 9
No. 2 2024, Hal 582
.jpg)

Terima kasih atas masukan anda.