-->

Manchester United: Bara yang Menyala Kembali di Tangan Amorim

Rizal Nanda Maghfiroh
0

www.bola.net

Pagiku cerahku, matahari bersinar, kugendong tas merahku di pundak. Kutipan lagu anak-anak itu mendadak terasa cocok untuk pendukung Manchester United minggu ini. Kata “tas merah” di sini seolah menjadi simbol tempat mengantongi poin-poin krusial di Liga Inggris, bukti bahwa MU kembali menunjukkan identitasnya sebagai salah satu klub terbesar di muka bumi. Ungkapan ini bukan sekadar bacot. “Tidak ada MU tak makan”, begitu kira-kira maksudnya. Sebab apa pun yang terjadi, Manchester United tetap jadi pusat perbincangan netizen dan para pundit daring yang mencari cuan dari konten tentang Setan Merah.

Di tengah rasa pesimis dan keputusasaan setelah musim lalu yang berantakan, kini sinar itu mulai menembus kabut. Tiga kemenangan beruntun telah mengubah suasana di Old Trafford. Setelah menumbangkan Liverpool 2–1 di Anfield, semalam (25/10) giliran Brighton yang menjadi korban dengan skor 4–2 di Theatre of Dreams. Kemenangan ini membawa United merangsek ke posisi empat besar klasemen sementara Liga Inggris. Memang belum luar biasa, tapi cukup untuk membungkam kritik bahwa MU bukan lagi kandidat serius perebut tahta juara. Kini, suara sumbang mulai diam, dan perlahan nama Rúben Amorim mulai dihormati di tanah Inggris.

Praktis, Amorim menunjukkan tajinya sebagai pelatih jempolan yang berani keluar dari pakem. Siapa bilang formasi 3–4–3 tidak cocok untuk Premier League? Di tangan Amorim, skema itu kini dalam tiga pertandingan menjelma menjadi sistem fleksibel yang cair, cepat, dan agresif. Transisi berjalan mulus, pergerakan tanpa bola hidup, dan ruang eksplorasi antar lini terasa lebih luas. Trio depan Mbuemo, Cunha, dan Å eÅ¡ko menjadi jantung dari perubahan itu. Mereka bukan hanya sekadar cepat, tapi juga cerdas membaca ruang. Serangan balik United kini tidak lagi tergesa, tapi terencana bukan tentang siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling tepat. Brighton yang biasanya solid pun dibuat tak berdaya oleh ritme United yang begitu efisien.

Banyak yang bilang penyakit lama MU sudah sirna. Egoisme pemain yang dulu menghantui ruang ganti kini lenyap bersama kepergian nama-nama lama. Tak ada lagi wajah yang sibuk dengan gaya dan sorotan kamera. Yang tersisa hanyalah mereka yang mau bekerja, berlari, dan berjuang dalam diam. Di bawah tangan Amorim, lambang di dada kembali lebih berarti dari nama di punggung. Para pemain muda ini tidak datang untuk jadi bintang media, tapi untuk mengembalikan marwah klub legendaris. Dan hasilnya mulai terasa, bukan dalam statistik semata, tapi dalam aura Old Trafford kembali bergetar oleh semangat yang jujur.

Kunci kemenangan kali ini ada di keseimbangan tim. Semua lini bekerja dengan ritme yang presisi, seolah sudah menyatu dalam satu napas. Empat nama patut disebut sebagai motor kebangkitan: Lammens, Mbuemo, Casemiro, dan De Ligt. Lammens, kiper baru yang tampil tanpa rasa gugup, kini menjadi fondasi utama di belakang. Ia bukan sekadar penjaga gawang, tapi pengatur ritme dari lini terakhir. Distribusinya rapi, refleksnya tajam, dan aura tenangnya menular ke seluruh pemain belakang. United seolah menemukan penerus sejati setelah masa Onana si Raja Blunder.

Mbuemo, sayap eksplosif, kini menjelma jadi senjata utama. Sungguh beruntung MU dapat mendatangkan pemain asal kamerun yang memiliki kecepatan dan insting menyerangnya membuat sisi kanan MU hidup kembali. Ia tidak hanya berlari, tapi juga berpikir. Setiap tusukan dan umpan silangnya menghidupkan dinamika serangan yang membuat lawan kewalahan.Casemiro pun seperti lahir kembali, setelah musim lalu sempat kehilangan bentuk, kini ia tampil sebagai jangkar sejati. Sebagai DMF, ia memutus serangan lawan, mengatur tempo, dan memberi perlindungan bagi bek tengah, bukan hanya dengan tekel keras, tapi dengan kecerdasan membaca permainan. Dan di belakang, Matthijs de Ligt tampil seperti dinding baja yang fleksibel. Ia bisa duet dengan siapa saja entah dengan Maguire yang mampu mematikan Van Dijk saat kontra Liverpool atau duet dengan bek muda potensial Leny Yoro seperti kala melawan Brighton. Ketenangannya luar biasa, keputusannya matang, dan kepemimpinannya mulai terasa sebab menginjak usia potensial bagi seorang bek. 

Di depan, Benjamin Šeško menjadi simbol kerja keras tanpa pamrih. Ia bukan tipe striker malas menunggu bola, Sesko mau turun menjemput bola, membuka ruang, lalu muncul kembali di posisi yang tak terduga. Tanpa nama-nama lama seperti Rashford, Antony, atau Højlund, United justru tampil lebih solid. Ketiadaan mereka membuka ruang bagi trio baru Mbuemo, Cunha, dan Šeško yang lebih aktif gerak untuk membangun harmoni baru di lini depan. Tidak ada lagi ego, tidak ada lagi gengsi; yang tersisa hanyalah gairah muda yang haus pembuktian.

Hasilnya terlihat jelas: MU kini bukan sekadar tim yang bermain untuk menang, tapi tim yang menikmati setiap proses menuju kemenangan. Fans kembali punya alasan untuk tersenyum tiap pekan, bukan karena trofi sudah di tangan, tapi karena mereka kembali melihat roh Manchester United yang dulu hilang. Amorim mungkin belum tentu membawa gelar musim ini, tapi yang pasti ia sudah menyalakan kembali api di dalam hati para pendukung. Setan Merah kini benar-benar merah bukan karena darah atau sejarah, tapi karena bara semangat yang menyala lagi di dada setiap pemainnya.

Glory, Glory, Man United.

Posting Komentar

0 Komentar

Terima kasih atas masukan anda.

Posting Komentar (0)