![]() |
Lokasi Makam Sentono |
NAPAK TILAS JATIPANDAK
Oleh @slownanda
BAGIAN I
PROLOG
Berbicara
tentang organisasi dalam ruang lingkup sosial tentulah tak ada hentinya untuk
dibincangkan mengingat organisasi merupakan sebuah hukum alam, sebuah fitrah
yang dimiliki oleh manusia sebagai mahluk sosial yang membutuhkan proses
sosialisasi dengan sesama. Berbagai organisasi tersebar diberbagai lini
kehidupan mulai dari keagamaan, pendidikan, sosial, hingga paguyuban-paguyuban
kecil atas kesamaan gaya hidup menunjukkan bahwa manusia memang diciptakan oleh
Tuhan Yang Maha Esa untuk membaur, berkomunikasi, dan bekerja sama, dalam kata
lain berorganisasi.
Refleksi:
Jas Merah Bung Karno
Istilah “Jas
merah” disini bukan bermakna tersurat yang berarti jas berwarnah merah, Jas
merah dalam pembahasan disini merupakan sebuah akronim (singkatan) dari perkataan
Soekarno sang proklamator bangsa Indonesia, “Jangan Sekali-kali Melupakan
Sejarah” itulah penggalan kata dibalik istilah “Jas Merah”. Perkataan Bung
Karno tersebut tentulah menimbulkan sebuah tanda tanya besar, apa pentingnya
sebuah sejarah ?”, “mengapa harus memahami suatu sejarah?”.
Tak
dapat dipungkiri memang bahwa sebagian kalangan tentu terkadang apatis terhadap
sebuah sejarah, memahami sejarah dianggap membosankan dan tak penting, laksana
sebuah dongeng sebelum tidur sebagai pengantar hingga terlelap dalam
kenyamanan. Faktanya dapat kita lihat pada beberapa museum-musem yang bernuansa
sejarah disekitar kita, yang mana mayoritas musem-museum tersebut bagai sebuah
gudang penyimpanan barang-barang kuno. Mulai dari perkotaan seperti Malang Raya
misalnya, beberapa museum modern seperti Museum Angkut dan Museum Tubuh di Kota
Batu yang lebih condong mengarah ke life style justru lebih sering
dinikmati oleh kalangan masyarakat, adapun museum yang statusnya bernuansa
sejarah justru semakin tenggelam. Alih-alih menjadi pusat informasi dan
pemahaman sejarah perjuangan Malang Raya, Museum Brawijaya yang berada di Jalan
Ijen justru lebih sering digunakan sebagai ajang life style dengan
berbagai kedai dan warung yang tak jarang dipakai kaum muda-mudi untuk bermain
hati. Museum Brawijaya lebih beruntung daripada musem Mpu Purwa yang berada di
daerah Jalan Soekarno-Hatta, musem bernuansa sejarah kerajaan Kanjuruhan yang
merupakan Kerajaan tertua di Jawa Timur tersebut semakin sepi akan kunjungan
masyarakat, meskipun diseberang gang masuk menuju museum tersebut sudah
dipasang papan nama namun justru tak jarang dari beberapa masyarakat sekitar
yang tak mengerti tentang keberadaan museum yang pernah menyimpan Prasasti
Dinoyo tersebut.
Sementara di daerah pedesaan juga
tak kalah memprihatinkan, tatkala perkembangan globalisasi semakin cepat yang
berdampak mudahnya penyebaran informasi dan komunikasi hingga seakan membentuk
jaringan global village (Kampung Global), pada akhirya menyebakan
maraknya pemahaman serba instan terhadap sebuah kejadian dan realita
kemasyarakatan. Alhasil munculnya pemahaman taqlid buta terhadap
pendapat faham-faham popular kekinian merupakan dampak karena apatisnya
terhadap pemahaman sebuah sejarah. Peninggalan-peninggalan sejarah dipedesaan pun
mulai terpeinggirkan seiring dengan kenyamanan yang didapatkan dari globalisasi
instan, baik itu yang berupa peninggalan bangunan seperti prasasti yang jusru
kerap dicuri, warisan nilai kebudayaan,
cerita turun-temurunan, atau napak tilas lainnya, yang mana jika apatisme
sejarah dibiarkan berlarut-larut tentu generasi mendatang jelas akan tak
mengenal sedikit pun terhadap jati dirinya sendiri, dari mana ia berasal,
dilahirkan, dan untuk siapa ia berjuang.
Padahal jika dikaji secara mendalam terkait keilmuan sejarah khususnya
perkataan “Jas Merah” Bung Karno tersimpan makna yang mendalam dan tinggi.
“Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah”, hal tersebut tentulah memilki
urgensitas tinggi tentang pemahaman eksistensi keberadaan suatu hal, keberadaan
suatu hal di dunia tentu bermula dari ketiadaan yang pada akhirnya memunculkan
sebuah proses panjang untuk mencapai keberadaan suatu hal tersebut. Disinilah letak kevitalan pemahaman suatu
sejarah, sejarah laksana sebuah cabang pohon yang jika dapat diambil segi
positifnya tentu akan memunculkan suatu buah (tsamrah) yang dapat
mengarahkan menuju kemanfaatan akan suatu hikmah demi lil maslahatul ‘amah. Urgensitas sebuah sejarah berlaku pula bagi
sebuah organisasi termasuk Nahdlatul ‘Ulama yang merupakan salah satu
organisasi yang diakui dimata internasional.
istilah “Jas Merah” bagi NU mengandung isyarat sebuah intropeksi
bersama, mengingat proses intropeksi tentulah harus merujuk pada kejadian atau
pengalaman terdahulu yang diambil hikmah dan nilai guna dibalik kejadian
tersebut. Sejarah laksana sebuah pisau yang dapat bermanfaat jika digunakan
dengan baik, merugikan jika dibuat menyimpang, atau tergeletak berkarat tak
terpakai.
Bagi NU pemahaman tentang sejarah organisasi merupakan hal yang wajib
dipahami oleh setiap stekholder organisasi, suatu anggota dikatakan memahami
organisasi secara sempurna selain faktor kontribusi nyata di organisasi dan
memahami aturan main (AD-ART), juga harus paham tentang sejarah organisasi
sebagai sarana memahami jati diri sebuah organisasi yang diikutinya. Selain
berperan sebagai referensi langkah kecil menuju perubahan besar, sejarah juga
dapat diposisikan sebagai motivator dan pemompa semangat meraih tujuan kedepan,
sebagaimana yang ditujukkan oleh bangsa Jepang yang mempunyai semangat tinggi
dalam berproses meskipun beberapa tahun kemarin negara tersebut hancur luluh
karena tsunami namun bangsa tersebut mampu bangkit hingga tetap menjadi salah
satu ‘Macan Asia”. Selain itu memahami sejarah pengembangan sebuah organisasi
laksana sebuah sanat dalam ilmu Hadist yang diperoleh dari seseorang,
dimana kehadiran pihak pada masa sebelumnya hingga pihak diatasnya lagi menjadi
jalan untuk terhubung Sekaligus tetap sambung dengan Rasulullah Muhammad SAW
sebagai penyambung utama Ukhuwah Billah.
Napak
Tilas Ranting
Ide
penulisan tulisan ini bermula dari sebuah penugasan oleh panitia Pelatihan
Kader Dasar Gerakan Pemuda Ansor Kecamatan Sambeng Cabang Babat yang
diamanatkan kepada kami sebagai bentuk follow up mengikuti pelatihan. Dimana
kami per-Ranting diamanati untuk merangkum historitas “Napak Tilas” tentang
desa hunian kami baik perkembangan asal usulnya, penyebaran agama islamnya,
hingga perkembangan organisasi Nahdlatul ‘Ulama-nya. Awalnya pihak panitia tak
menghimbau penggalian informasi dituangkan pada font ketikan dalam artian boleh
ditulis tangan, akan tetapi kami menyadari benar bahwa pemahaman sejarah
merupakan hal yang urgen, apalagi berkenaan dengan islam dan perkembangan
organisasi Nahdlatul ‘Ulama dilingkungan pedesaan yang selama ini memang
penyebaran informasinya hanya melalui cerita lisan turun-temurun, sehingga hal
inilah yang membuat kami khawatir apabila hasil pengamatan yang kami lakukan
tidak didokumentasikan secara terstruktur dan sistematis maka akan mengurangi
pemahaman tentang tujuan penulisan tulisan ini yang tentunya adalah bertujuan
untuk memberikan sedikit pemahaman terkait historitas hunian kami baik asal
usulnya hingga perkembangan pergerakan organisasi Nahdlatul ‘Ulama-Nya.
Sumber primer pelulisan “Napak Tilas” disini
tiada lain didapat dari penerapan metode observasi partisipan, dalam artian
melalui pengalaman penulis secara terjun langsung terhadap objek kajian
pengamatan mengingat objek kajian adalah hunian sendiri. Selain menggunakan
pengamatan (observasi) metode penggalian informasi juga dilakukan dengan
menggunakan teknik wawancara pada tokoh masyarakat, pemuka agama, hingga pihak
yang terbilang paham tentang perkembangan sejarah. Terbatasnya arsip atau dokumen rill seputar
kejadian masa lalu hingga kurangnya wawasan keilmuan tentang penggalian sejarah
serta pemahaman arkeolog-sasi menjadi salah satu kendala yang menghambat dalam proses
penulsian sehingga hal tersebut secara tidak langsung tentu menjadi poin minus
dalam tulisan ini. Karenanya untuk sedikit menutupi celah pemahaman maka
ditambahkanlah metode dokumentasi sebagai tanda bukti nyata perkembangan sebuah
sejarah, baik itu berupa foto-foto yang menujang pemahaman kronologis
historitas atau kajian pustaka diberbagai media terkait seputar objek kajian. Sehingga
karya tulisan ini diharapkan dapat sedikit menambah pemahaman tentang Napak
Tilas hunian kami Meskipun sangat dipungkiri bahwa tulisan tersebut sangat jauh
dari kata sempurna, bahkan mendekati kata baik menjadi kata-kata yang terbilang
mungkin kurang layak diberikan bagi karya tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat
menjadi titik awal menggaungkan formaliasai Napak Tilas dalam bentuk ilmiah
khususnya dilingkunan Kecamatan Sambeng, sebagai awal dari pengembangan tulisan
serupa di masa depan demi penguatan generasi mendatang tentang urgensitas
sejarah, selamat membaca dan berimajinasi
BAGIAN II
HISTORIS AWAL DAN NAPAK TILAS JATIPANDAK
Penjajakan: Pengantar Jatipandak
Jatipandak merupakan salah satu dari 22 Desa yang berada dalam
ruang lingkup Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan, dimana
wilayah ini terletak tepat di daerah Lamongan bagian paling selatan yang
berbatasan langsung dengan Kabupaten Jombang. Secara administratif Desa
Jatipandak memiliki luas 5,06 km2 yang terbagi
menjadi tiga buah cakupan dusun yakni; Dusun Seren, Dusun Mlurus, dan Dusun
Jatipandak sendiri sebagai pusat pemerintahan Desa.
Sedangkan secara geografis wilayah Jatipandak merupakan daerah
tertinggi kedua dari 22 Desa di Kecamatan Sambeng setelah Wateswinangun dengan
tinggi 66 mdpl, mengingat Lamongan daerah selatan termasuk jajaran deretan
pegunungan Kendeng yang membentang hingga rembang Jawa Tengah, alhasil struktur
tanah yang memiliki unsur kapur membuat daerah Jatipandak ditumbuhi flora tanaman jati dimana
pengelolaan hutannya berada dibawah naungan Dinas Perhutani Mojokerto. Adapun
fauna endemik yang tersebar di hutan tersebut seperti; kera, kijang, babi
hutan, aneka ular, bahkan menurut pengakuan beberapa masyarakat pernah pula
berjumpa dengan satwa langka semacam merak dan harimau saat mencari rumput.
Situs Wikipedia mencatat bahwa wilayah Jatipandak merupakan sentra
penghasil gerabah, genteng, dan batu bata merah. Akan tetapi seiring
berkembangnya zaman dengan arus urbanisasi lambat laun membuat industri kecil
pengelolaan aneka tanah liat tersebut semakin tak dijamah. Kemudian berdasar
pada cerita sesepuh desa Jatipandak yang diperkuat dengan catatan di balai desa
Jatipandak didapatlah bahwa hingga sampai saat ini (2017), Desa Jatipandak
telah berganti kepala desa sampai 6 kali meliputi;
1. Mbah Lurah Semo 4.
Kades Suwandi
2. Mbah Lurah Darjo 5.
Kades M. Sutikno
3. Mbah Lurah Kusnan 6.
Kades Hanafi
Penamaan Istilah Jatipandak
Setelah
mengetahui pemaparan sekilas tentang wilayah Jatipandak sebagaimana diatas,
tentulah memunculkan sebuah pertanyaan yang mungkin mengganjal di benak kita
tentang dari manakah penamaan istilah jatipandak dan apa maksud dari istilah
tersebut. Sebenarnya pertanyaan model ini merupakan hal yang biasa dan juga
kerap muncul di daerah lain dalam menanggapi sejarah suatu daerah,
sepertihalnya daerah Lamongan yang kerap dinisbatkan pada tokoh Mbah Lamong
sebagai sesepuh Lamongan. Ada pula yang dikaitkan dengan legenda masa lalu
seperti daerah hunian suku Tengger (Malang) yang dirujukan pada mitologi Gunung
Bromo yang terdapat penamaan Joko Tengger sebagai kekasih Putri Rara Anteng.
Berkaitan dengan sejarah
Jatipandak sendiri hampir masyarakat setempat kurang memahami mengapa muncul
nama Jatipandak, umumnya diantara mereka hanya mengatakan seputar penamaan yang
terkesan dikait-kaitkan dengan sebuah hal dalam gramatikalnya. Hal ini
disebabkan karena memang tak ada bukti rill peninggalan masa lalu seputar
perkembangan daerah Jatipandak. Berbeda dengan daerah lain di Kecamatan Sambeng
seperti; Pamotan, dan Pataan yang memang ada rujukan rill penisbatan istilah
nama wilayah berdasar pada warisan masa lalu yakni Prasasti Pamwatan dan
Prasasti Pataan era zaman Raja Airlangga berkuasa. Beberapa masyarakat
Jatipandak setempat hanya menyebut bahwa istilah Jatipandak kerap dikaitkan
dengan napak tilas tokoh Mbah Mas Telogo Biting yang dianggap sebagai pembabat desa,
dimana istilah “Jati” dinisbatkan pada kondisi sekitar wilayah yang memang
vegetasinya adalah tanaman Jati sedangkan istilah Pandak berasal dari kata
awal “Pondok” yang tiada lain merupakan
sebuah tempat pesanggrahan penuntutan sebuah ilmu pengetahuan dari tokoh yang
dianggap masyhur lahir-batin. Disinilah legenda asal usul penamaan istilah
Jatipandak yang kerap dikaitkan dengan zaman Mbah Mas Telogo Biting. Anggapan
lain yang muncul oleh masyarakat setempat bahwa istilah Pandak merupakan padanan
kata “Pendek” dalam bahasa Indonesia, yang jika ditarik simpulan bahwa
Jatipandak berarti daerah yang memiliki habitat pohon jati yang pendek (tidak
terlalu tinggi).
Keterkaitan Dengan Kerajaan Kahuripan Airlangga
Jika
ditarik kebelakang berdasarkan historitas kronologis sejarah yang telah diakui
oleh para sejarawan dan telah di bingkai resmi menjadi sejarah ke-Indonesiaan,
dikatakan bahwa daerah Lamongan bagian selatan (tentu termasuk Jatipandak)
berkaitan erat dengan historis napak tilas Prabu Airlangga, meskipun sebenarnya
kerajaan besar jawa timur lain seperti Majapahit dan Singosari juga wilayah
kekuasaannya meliputi daerah-daerah pesisir Jawa Timur tak terkecuali Lamongan Selatan
(Jatipandak). Akan tetapi Jika dilihat dari warisan berbagai kerajaan tersebut,
Napak Tilas Prabu Airlangga mempunyai urgensi historitas tersendiri terhadap
berbagai daerah di Lamongan Selatan (Termasuk Jatipadak), hal ini dikarenakan
banyaknya napak tilas yang tersebar di Lamongan selatan berkenaan dengan
perjuangan Prabu Airlangga mendirikan dan memperjuangkan estafet mandataris
Kerajaan Medang (mataram lama) dirian Prabu Sanjaya (752 M), yang hancur lebur pada
masa Dharmawangsa Teguh (1006 M) efek serangan Raja Wurawari dari Pasukan Lwaram (cepu: sekarang) dengan aliansi
Kerajaan Budha Sriwijaya.
Dalam catatan yang terangkum pada sejarah Ke-Indonesiaan dikatakan
bahwa peristiwa hancur luluhnya Kerajaan Medang tersebut dikenal dengan nama “Mahapralaya”
yang menewaskan hampir tokoh-tokoh ternama Kerajaan Medang termasuk Raja
Dharmawangsa Teguh dan istri Airlangga muda sendiri. Sedangkan Airlangga muda
berhasil lolos dari tragedi maut atas bantuan dari pengasuhnya Mpu Narotama.
Bersama sedikit pengikutnya yang berhasil lolos dari tragedy pralaya, Prabu
Airlangga menjelajah daerah Jawa Timur bagian utara (+ Jombang,
Mojokerto, Lamongan, Pasuruan, dan sekitarnya), konon Sendang Made di Kudu
Jombang merupakan salah satu tempat pertapaan dalam proses pelarian Prabu
Airlangga. Melalui pertapaan disitulah konon Prabu Airlangga mendapat wangsit untuk meneruskan perjuangan keraajaan
Medang (Mataram lama) hingga berhasilnya mendirikan kerajaan Kahuripan dengan
Prabu Airlangga sendiri sebagai raja pertamanya.
Pada masa-masa
awal pemerintahannya, kerajaan Kahuripan kerap berpindah pusat pemerintahannya
guna melindungi diri dari serangan musuh yang terbilang kuat apalagi Kerajaan Sriwijaya meruapakan ancaman nyata, karena
saat itu posisi Kerajaan Kahuripan masih terbilang lemah dukungan. Alasan ini
pula yang juga menyebabkan Raja Airlangga memutuskan untuk berpindah-pindah
ibukota guna sekaligus berusaha mengambil hati dan dukungan daerah baru yang
ditempati. Banyak versi sejarah tentang daerah mana saja yang pernah dijadikan
Ibukota pemerintahan Kahuripan, beberapa pengamat sejarah menyebut daerah sekitar
lereng gunung penanggungan bagian utara (Ngoro, Mojokerto) merupakan ibukota keraton
awal (Wwtan Mas) dalam awal tonggak perjuangan Kerajaan Kahuripan
Airlangga, anggapan ini merujuk pada fakta peninggalan deretan candi di kaki
gunung penanggungan beserta kolam pemandian Jalatunda yang disebut sebagai warisan
Kerajaan Kahuripan Airlangga.
Namun dalam versi anggapan sejarah lain justru dikatakan bahwa Raja
Airlangga justru memulai berpindah-pindah Ibu kota pemerintahan Kahuripan ke
daerah utara (Lamongan), hal ini dikuatkan dengan ditemukannya berbagai peninggalan
kuno kerajaan kahuripan di daerah Lamongan bagian selatan seperti berbagai
prasasti (Pamwatan, Cani, Pataan, Pucangan, dan lain sebagainya) hingga
terakhir ditemukannya bangunan candi besar yang tertimbun tanah di persawahan
Dusun Montor Desa Pataan Kecamatan Sambeng. Dugaan ini dikuatkan pula dengan
adanya sebuah daerah di Lamongan Selatan bernama Dusun Wotan (Desa Slaharwotan,
Kecamatan Ngimbang) yang digadang-gadang sebagai Wwtan mas yang
merupakan pusat ibukota keraton pertama Kerajaan Kahuripan Airlangga, apalagi
disekitar daerah tersebut terdapat sebuah prasasti bercorak hindu yang diindikasi ada kaitannya dengan Wwtan
Mas Kahuripan, meski sebenarnya
anggapan tersebut belum teruji jelas kebenarannya karena tak ada tindak lanjut
penelitian berbasis sejarah dan arkeolog seputar sepak terjang Pemerintahan Raja Airlangga di Lamongan bagian selatan.
Prasasti
Pamwatan dan Prasasti Lain Sebagai Penguat
Mengacu pada prasasti Pamwatan (Sekitar: 965 Saka/ 1043 M/
Sejarawan LC Damais: 10 November 1042) yang ditemukan di Desa Pamotan Kecamatan
Sambeng Kabupaten Lamongan tentu dapatlah diambil sebuah hipotesis bahwa wilayah
Jatipandak dulunya tentu juga merupakan termasuk pada daerah kekuasaan Raja
Airlangga, mengingat Jatipandak dengan Pamotan hanya berjarak + 2 km
saja, namun tidak diketahui jelas apakah Jatipandak saat itu sudah berbentuk
perdukuhan atau masih berupa hutan belantara, karena memang tak ditemukan
peninggalan jelas berkaitan dengan napak tilas Raja Airlangga seperti Prasasti
Pamwatan di wilayah Pamotan.
Akan tetapi sangat disayangkan sekitar awal 2000-an pasca semakin
terkenalnya Prasasti Pamwatan sebagai warisan Airlangga, prasasti tersebut
hilang dicuri oleh pihak yang tak bertanggungjawab dan hanya menyisahkan bekas alas
tempat dudukan prasasti (Yoni). Minimnya kepedulian dan pengamanan dari
masyarakat setempat menjadi salah satu penyebab utama raibnya prasasti
legendaris Raja Airlangga tersebut. Dikatakan legendaris sebab prasasti yang
berbahasa Jawa Kuno tersebut memuat pemaparan tentang ibukota keraton baru Kerajaan
Kahuripan Airlangga yang melalui prasasti tersebut diperkirakan adalah daerah
yang disebut Dahanapura (Daha), dengan kata lain prasasti Pamwatan sedikit
banyak berkaitan erat dengan peristiwa menjelang turun tahtanya Raja Airlangga,
namun tak ketahui jelas tentang dimanakah letak daerah yang disebut Dahanapura
(Daha) tersebut, karena tulisan bagian bawah prasasti Pamwatan tidak nampak
jelas, beberapa kalangan menganggap bahwa daerah yang disebut Dahanapura (Daha)
adalah Pamotan sendiri, adapula pihak yang mengaitkan dengan daerah “Daha” di
Kediri, mengacu pada realita bahwa Raja Airlangga menjelang turun tahta membagi
kerajaannya menjadi dua kerajaan; Jenggala dan Panjalu (Kadiri).
Selain prasasti Pamwatan, ditemukan pula prasasti warisan Airlangga
lain sebagai penguat napak tilas di Lamongan selatan yang juga banyak
disinggung pemerhati sejarah, seperti Prasasti Cani (943 Saka /1021 M) yang
berisikan tentang penganugerahan gelar “Sima” kepada penduduk daerah Cani (Candisari)
yang membantu dan mengabdi pada Raja Airangga melindungi benteng kekuasaan
wilayah kerajaan bagian barat. Prasasti ini kini disimpan di museum nasional
Jakarta dan hanya menyisahkan bekas lahan temuan yang kini diberi papan tanda
petunjuk berisikan catatan seputar isi prasasti. Selain Cane warga daerah
Pataan juga pernah diberi gelar “sima” oleh Raja Airlangga atas kesediaanya
menerima kehadiran Raja Airlangga dan pengikutnya yang mengusi dari keraton
Wwtan Mas akhibat serangan pasukan Wurawari. Peristiwa ini dicatat dalam
prasasti Patakan (1042 M) yang kini juga disimpan di Museum Nasional Jakarta,
prasasti ini juga merujuk pada sebuah bangunan suci persembahan Raja Airlangga
pada pemuka agama setempat bernama Sang Hyang Patahunan yang kabar terakhir kerap
dikait-kaitkan dengan ditemukannya bangunan seperti candi di persawahan Dusun
Montor Desa Pataan Kecamatan Sambeng.
Jejak
Raja Airlangga di Lamongan selatan semakin diperkuat dengan ditemukannya
Prasasti Pucangan di lereng gunung penanggungan pada masa pendudukan Gubernur
Raffles asal Inggris di Nusantara sehingga prasasti tersebut kini disimpan di
Museum Calluta India, kala itu India juga merupakan pusat jajahan dari kerajaan
Inggris. Adapun yang disinggung dalam prasasti ini salah satunya adalah tentang
pemaparan adanya pertapaan di daerah Pucangan (Ngusikan Jombang) yang
diindikasi merupakan tempat “uzlah” Raja Airlangga pasca turun tahta dan
pembagian wilayah. Hal ini dikuatkan pula dengan ditemukannya makam petilasan putrid
pertama Raja Airlangga Sanggramawijaya Tunggadewi
atau dikenal dengan Dewi Kili Suci didaerah Pucangan (Gunung Pucangan)
yang konon menolak pemberian tahta dari ayahanda dan justru memilih untuk
menjadi petapa untuk menjauhi kepentingan duniawi. Selain petilasan Dewi Kili
Suci di Gunung Pucangan juga didapati petilsan beberapa pengikut setia Dewi
Kili Suci yang salah satunya adalah tokoh pemuda berjuluk “Maling Cluring”,
karena kebiasaannya mencuri harta kaum bangsawan yang tamak dan membagikan
harta tersebut pada kalangan yang membutuhkan. Empat prasasti Airlangga diatas merupakan
prasasti utama yang kerap disinggung para sejarawan berkenaan dengan napak
tilas Kerajaan Kahuripan Raja Airlangga di Lamongan Selatan (Termasuk
Jatipandak). Sebenarnya masih banyak lagi temuan prasasti di Lamongan Selatan
(Sambeng-Ngimbang) yang kerap dikaitkan beragai pihak dengan Airlangga namun
jarang disinggung para sejarawan karena minimnya penelitian, seperti; Prasasti
Sumbersari I dan II, Prasasti Lawan, Prasasti Nogojatisari, Prasasti Garung,
Prasasti Wotan, Prasasti Sendangrejo, dan lain sebagainya.
Napak Tilas: Antara Bengawan, Kapal, dan Mbah Mas Telogo Biting
Melalui
pemaparan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa daerah Jatipandak (Lamongan
Selatan) sebenarya menyandang predikat penting bagi perkembangan sejarah
kerajaan-kerajaan tempo dulu; baik itu Majapahit, Singosari, atau Kahuripan
Airlangga yang semakin jelas napak tilasnya. Hal ini bukanlah sebuah kebetulan
semata, namun jika dicermati dari model komunikasi dan perhubungan zaman dulu
maka dapatlah diketahui bahwa sungai dan pesisir memegang peran penting sebagai
pusat perhubungan, baik itu penyebaran informasi, perdagangan, hingga
penyebaran agama dan budaya. Maka wajar pula jika muncul sebuah versi sejarah
bahwa Kerajaan Majapahit di Jawa Timur berpusat di daerah yang dekat dengan
daerah aliran sungai (DAS), alhasil diindikasikan pula bahwa keraton kerajaan
ini berada di pinggiran Sungai Brantas.
Fakta
sejarah inilah yang mungkin terasa pas jika dikaitan dengan napak tilas tokoh
Mbah Mas Telogo Biting di daerah Jatipandak. Menurut sumber yang pernah kami dapat
dari Kasimin selaku Juru Kunci Petilasan tersebut, bahwasahnya Mbah Mas Telogo
Biting merupakan seorang utusan langsung dari Giri Kedaton arahan Sunan Giri
Gresik untuk menyebarkan agama Islam di daerah sekitar aliran bengawan
(termasuk Lamongan selatan). Namun tak diketahui jelas dimasa manakah
kedatangan Mbah Mas Telogo Biting ke daerah Lamongan selatan; apakah sejak masa Airlangga,
Majapahit, atau penjajahan Belanda, karena memang tak ada sumber rill sejarah
seperti batu nisan bercorak, prasasti, atau yang lain. Konon dulunya Mbah Mas
Telogo Biting berbekal sebuah kapal dalam berpetualang menjelajah aliran bengawan,
menurut cerita di lingkungan masyarakat Jatipandak bahwasahnya daerah selatan
Makam Mbah Mas Telogo Biting yang kini berupa persawahan
lahan tebu dulunya konon merupakan cabang sungai Brantas yang juga kerap
digunakan sebagai pusat perhubungan, perdagangan serta penyebaran informasi
antar daerah. Dugaan tersebut semakin menguat dengan kerap ditemukannya
berbagai potongan akar batang pohon besar yang terkubur di sekitar lahan
persawahan yang diduga merupakan sisa fosil pohon yang terpendam didasar
sungai. Meskipun pun realita sebenarnya lokasi bengawan brantas dengan
Jatipandak cukup jauh yang dibatasi dua kecamatan; Kabuh dan Kudu. Jika memang
bukan sungai brantas, bisa saja bengawan yang dimakud adalah cabang dari kali
lamong. Tapi tak usahlah didebati secara serius mengingat sejarah tentu banyak versi
dan variasi, kadang pula harus bercampur dengan mitologi, legenda, hikayat
turunan, dan napak tilas lain yang sulit dibuktikan realnya.
Menurut mitologi
setempat yang sudah menjadi dogma turun-temurun dikatakan bahwa gundukan tanah
yang ditempati petilasan Mbah Mas di areal tengah lahan perkebunan tebu
merupakan sebuah fosil kapal kepunyaan Mbah Mas, dimana menurut kepercayaan
setempat diyakini bahwa kapal Mbah Mas karam tenggelam di bengawan dan lambat
laun tatkala sungai surut sudah ditemukan sebuah gundukan tanah dengan makam
diatasnya. Sedang menurut cerita versi lain dari warga setempat mengatakan
bahwa ketika Mbah Mas akan meninggal beliau berwasiat agar mengubur kapal
kepunyaan bersama jenazahnya. Konon tiang ikat kapal beliau lambat laun
menjelma menjadi sebuah pohon besar yang kini posisinya berada di sebelah
selatan lingkungan formal Madrasah Ibtidaiyyah Darussalam. Sedang gundukan
tanah yang diyakini kapal Mbah Mas tersebut, oleh warga setempat Jatipandak
menamainya dengan sebutan “Sentono”. Pernah pula sekitar awal tahun 2000-an tatkala
beberapa kelompok “njarangan” (Pencari kayu) melakukan penggalian di daerah
Sentono, mereka menemukan bongkahan kayu besar yang akhirnya diyakini sebagai
sisa fosil kapal Mbah Mas. Hal ini disebabkan karena kejadian unik ketika
mereka menggergaji kayu besar tersebut, anehnya “Tahi grajen” dari kayu
tersebut berwarna coklat gelap seakan nampak menyerupai warna merah gelap
darah.
Napak
Tilas: Mbah Purwojati Gunung Nganten
Penamaan istilah
“Nganten” dinisbatkan dengan ditemukanya sebuah makam kembar bersebelahan
diatas bukit besar (Dianggap Gunung oleh warga), karena itulah akhirnya makam petilasan
tersebut dianalogikan warga setempat dengan seorang nganten (Pengantin:
Indonesia) yang selalu bersama-sama. Sama sepertihalnya makam petilasan Mbah
Mas Telogo Biting Sentono, makam ini tidak ada sama sekali petunjuk historis
masa lalu yang dapat berfungsi sebagai petujuk identitas sejarah napak tilas
dari makam kembar tersebut sepertihalnya prasasti, batu bercorak, punden
berudak, atau peninggalan yang lain. Dalam penyelidikan sejarah yang dilakukan
hanya mendapati informasi dari kepercayaan warga setempat bahwa makam petilasan
yang berada di sebelah kanan dari pintu masuk merupakan makam petilasan dari
seorang tokoh bernama “Mbah Purwojati” yang diyakini juga sebagai “pembabat
desa” Jatipandak. Istilah “Jati” pada kata Jatipandak bisa jadi dulunya
diisbatkan pada tokoh Mbah Purwojati, bukan sekedar kata yang mempunyai arti
tersurat sebagai jenis pohon. Adapun petilasan Gunung Nganten tersebut berada
di tengah hutan antara Dusun Jatipandak dengan Dusun Mlurus, sedang
perawatannya dikelola oleh seorang juru kunci dari Dusun Mlurus Desa
Jatipandak.
Menurut cerita
pengalaman dari para sesepuh warga Jatipandak bahwa dulunya sebelum millinium
2000 menghampiri, di Gunung Nganten kerap diadakan tradisi “Nyadran” oleh warga
Desa Jatipandak tiap setahun sekali tepat ketika menjelang musim hujan tiba. Sama
sepertihalnya agenda serupa di makam petilasan Mbah Mas Telogo Biting Sentono
tiap Jum’at Pahing yang berisikan tasyakuran ketupat dan doa bersama. Berkaitan
tradisi Nyadran, hampir seluruh warga Jatipandak mengikuti tradisi Nyadran, dimana
dalam tradisi tersebut seluruh warga yang hadir memanjat doa kepada Allah SWT
sebagai Dzat Maha Pengasih lagi Penyayang dan dilanjutkan dengan tasyakuran
makan bersama agar memberikan musim penghujan yang bermanfaat guna menyambut
musim bercocok tanam. Penisbatan tradisi kepada makam Mbah Purwojati hanyalah
sebuah perpaduan antara kepercayaan animisme dinamisme – hinduisme sebagai
cangkang dengan budaya islam produk kreasi dakwah para wali dan mubaligh tempo
dulu sebagai esensi adanya kegiatan. Sayangnya seiring dengan berkembangnya
zaman dan sedikit demi sedikit para sesepuh desa tempo dulu sebagai pelaku
mulai dipanggil Illahi, maka tradisi Nyadran dan doa bersama di lingkungan makam
petilasan “pembabat desa” pun tak nampak lagi. Kegiatan sejenis diatas pun dialihkan dan dipusatkan di Masjid, Balai
Desa, dan rumah warga secara bergilir. Meskipun tak ada lagi kegiatan serentak di
komplekmakam Mbah Purwojati Gunung Nganten dan makam Mbah Mas Telogo Biting namun
dua petilasan tersebut tetap menjadi salah satu favorit lokasi peziarah para
warga yang mempunyai paradigma “penghayat”, baik itu dari warga Jatipandak
maupun dari daerah tetangga seperti Pamotan, Garung, Selorejo, hingga dari luar
Lamongan seperti Ngusikan Jombang.
BAGIAN III
BABAK BARU
PERKEMBANGAN DAKWAH ISLAM
DAN KE-NU-AN
JATIPANDAK
Awal
Perjuangan Pembangunan Masjid (1933)
Berdasarkan
rekaman catatan sejarah yang didapat dari arsip “lawas” Masjid Jami’ Al
Musyarofah dituliskan bahwa perjuangan dakwah Islam di daerah Jatipandak sudah
nampak sejak tahun 1933, yang mana pada tahun itu pula mulai dibangunlah Masjid
Jami’ Al Musyarofah sebagai pusat peribadatan dan hubungan sosial antar warga
Jatipandak yang saat itu pula masa-masa merebut kemerdekaan 1945. Adapun salah
satu tokoh penggerak yang tertulis dalam catatan tersebut salah satunya adalah Kyai
Kaslan yang juga mendapat amanat menjadi ketua Ta’mir Masjid Jami
Al-Musyarofah pertama kalinya dengan dibantu oleh Mbah Mudin Pak Pina. Menurut informasi yang didapat dari cerita
para sesepuh Jatipandak Kyai Kaslan sendiri bukan merupakan asli daerah
Jatipandak melainkan dari daerah Sepanjang Sidoarjo, karena saat itu memang di
daerah Jatipandak kerap didatangi para tokoh agama (mubaligh) dari pesantren-pesantren
luar daerah untuk menyambung silaturrahmi sekaligus membantu menyebarkan
nilai-nilai ajaran agama islam.
Embrio
Kelahiran NU (1945-1950)
Mengacu pada
kronlogis sejarah di arsip Masjid Jami’ Al Musyarofah Jatipandak dipaparkan
pula bahwa setelah masa kepemimpinan Kyai Kaslan sebagai Ta’mir Masjid Jami Al
Musyarofah angkatan pertama, maka pucuk kepemimpinan dilanjutkan oleh tokoh Kyai
Mada’i. Berdasar cerita dari sesepuh desa tentang sepak terjang Kyai Mada’i
didapatah sebuah informasi bahwa pada masa itulah embrio kelahiran pergerakan
organisasi Nahdlatul ‘Ulama di Jatipandak mengingat menurut cerita dikatakan
bahwa pada masa itu sudah masyarakat Jatipandak sudah kenyang tradisi ala NU seperti
ziarah kubur, tahlil berjamaah, atau yang lain. Pada masa pengabdian Kyai Mada’i
ini pula muncul tokoh muda yang pada akhirnya menjadi pemangku mandataris
pengabdian dimasa yang akan datang, diantaranya seperti: Moh. Sidik, Faqih, Nur
Hadi, Ranu, dan lain sebagainya.
Formalisasi
NU dan Pendirian Madrasah
Dalam
arsip Masjid Jami Al Musyarofah Jatipadak ditulis bahwa sosok Mohammad Sidik
merupakan tokoh yang berperan sebagai Ketua ketiga Ta’mir Masjid Jami Al
Musyarofah menggantikan posisi Kyai Mada’i guna melanjutkan mandataris
organisasi kearah yang lebih dinamis. Menurut Fatman selaku ketua NU Ranting
Jatipandak dikatakan bahwa Moh.Sidik merupakan salah satu dari tokoh yang
berperan dalam pelembagaan Nahdlatul ‘Ulama di Jatipandak sekitar tahun 1951.
Hingga pada akhirnya melalui wadah gerakan tersebut munculah i’tiqad bersama
untuk mendirikan lembaga pendidikan Madrasah Ibtida’iyyah sebagai wadah untuk
membimbing, mendidik, dan mengembangkan potensi generasi mendatang sekaligus
sebagai media mensyiarkan nilai ajaran islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah bi
Thoriqoti An Nahdliyyah.
“Kun Fayakun”,
usaha tak kenal lelah dari Moh. Sidiq dan kawan-kawan untuk mendirikan lembaga
pendidikan akhirnya mendapat hasil positif dengan berdirinya lembaga Madrasah
yang diberi nama “ Madrasah Ibtida’iyyah Darussalam” pada tahun 1965 diatas
lahan wakaf warga. Tentu dengan harapan agar madrasah tersebut memang menjadi
pusat keselamatan bagi semua pihak khususnya warga Jatipandak sepertihalnya
kata “Darussalam” itu sendiri. Adapun Moh. Siddiq sendiri didaulat sebagai
kepala Madrasah yang baru berdiri tersebut.
Menurut
pengakuan dari seorang alumni angkatan ketiga, bahwasahnya sekitar tahun 1971
banyak pengajar di Madrasah Ibtidaiyyah Darussalam yang didatangkan oleh Moh.
Sidik dari Jombang, hampir mayoritas kesemuanya merupakan lulusan pesantren
yang menguasai kitab-kitab kuning, diantara orang-orang tersebut seperti;
Solaiman, Sholihin, Anwar, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan sosok Moh.
Sidik sendiri mempunyai kerabat sanak dari daerah Jombang sehingga mudah untuk
mencari rekan berjuang di Madrasah Ibtidaiyyah Darussalam.
Keberhasilan
Nahdlatul ‘Ulama Jatipandak dalam mendirikan dan menembangkan lembaga
pendidikan formal pertama di Desa Jatipandak akhirnya diadopsi oleh para tokoh
pemerintah Desa Jatipandak yang saat itu
dipimpin oleh “Mbah Kusnan” untuk mendirikan pula lembaga pendidikan formal lain
yakni Sekolah Dasar (SD) sebagai lembaga pendidikan yang bermuara kepada Negara
dan menggunakan kurikulum negara, mengingat saat itu legalitas Madrasah belum
diatur jelas dalam sistem pendidikan nasional dan materi ajarnya hampir
mayoritas pelajaran agama dari kitab kuning seperti; Bulugul maram, Riyadhus
Sholihin, Fasholatan, Syifaul Jinnan, Amtsilah Tasrifiyyah, Nahwu Wadhih, dan
sebagainya. Meskipun sempat terjadi pro-kontra antar tokoh masyarakat tentang
pendirian lembaga pendidikan SD tersebut akhirnya pihak pengurus NU “legowo”
demi generasi mendatang agar lebih baik. Justru pengurus NU kala itu merelakan
gedung madrasah untuk dipakai oleh pihak SD Jatipandak saat pagi hari, sedang
kegiatan pembelajaran Madrasah Darussalam diletakkan di sore hari.
Kemudian salah
satu pengakuan menarik dari sesepuh desa yang diplot sebagai rujukan tentang
sepak terjang sosok Moh. Sidik di Jatipandak adalah bahwasanya Moh. Sidik mampu
membawa Ranting NU Jatipandak menjadi salah satu garda depan mengembangan NU di
Kecamatan Sambeng seiring dengan banyaknya tokoh lokal yang juga merangkap
menjadi anggota dan pengurus MASYUMI, kala itu MWC NU Kecamatan Sambeng diasuh
oleh Pak Yatno asal Keduk.
Kedatangan Ustadz M. Ali Chudhari (1971)
Masyarakat
Jatipandak tentu tak asing dengan tokoh yang biasa dikenal dengan nama “ Ustadz
Ali Chudhari (Pak Guru Ali)”. Sosok tersebut merupakan salah satu tokoh sentral
penggerak Nahdlatul ‘Ulama dan Madrasah Ibtidaiyyah Darussalam pasca masa pengabdian Moh. Sidik.
Sepertihalnya tokoh Jatipandak lainnya, M. Ali Chudari bukalah bumi putera
Jatipandak melainkan berasal dari daerah Bunga Gresik yang pada akhirnya
mengabdikan hidupnya dalam rangka mensyiarkan agama Islam ke daerah Lamongan
Selatan (Sambeng).
Menurut
pengakuan salah seorang alumni MI Darussalam angkatan ketiga sejak didirikan
bahwa sosok M. Ali Chudhari mulai mengabdikan diri meramaikan syiar islam di Jatipandak sejak tahun 1971
dengan berkecimpung sebagai pengajar lembaga Madrasah Ibtidaiyyah Darussalam
dan keanggotaan Nahdlatul ‘Ulama Jatipandak masa kepemimpinan Mohammad Sidik. Sebelum
singgah dan menetap di Jatipandak tercatat ada beberapa daerah yang sempat
disinggahi M. Ali Chudari sebagai pengabdiannya, mulai dari Dusun Tambar,
Krembak (Daerah Kec. Bluluk), hingga terakhir Dusun Kandangan sebelum
memutuskan hijrah ke Dusun Pandak (Jatipandak) dan membuat rumah pada sebidang
tanah pemberian dari salah satu pengurus NU Jatipandak bernama Supakat (P.
Suhari) dengan harapan agar bersama-sama dapat melanjutkan perjuangan menghidupkan
syiar islam jatipandak, Nahdlatul ‘Ulama, serta Madrasah Darussalam sebagai
lembaga pendidikan produk lokal.
Usai masa pengabdian Ustadz Moh. Sidik di
Jatipandak baik di cakupan Ta’mir Masjid Jami’ Al Musyarofah atau di Madrasah
Ibtida’iyyah Darussalam, maka Ustadz Ali Chudhari didaulat menjadi pemangku
estafet perjuangan generasi sebelumnya. Adapun salah satu corak pembeda antara
kepemimpinan Moh. Sidik dengan M. Ali Chudari dalam kelembagaan Madrasah yaitu apabila Moh. Sidik kerap mengambil
pengajar dari luar daerah Jatipandak maka M. Ali Chudari justru mengambil dari
para lulusan internal Madrasah sebagai pengajar. Hal ini wajar karena pada masa
kepemimpinan M. Sidik merupakan tahapan awal sehigga mau tidak mau harus mampu
membangun manajemen madrasah dengan sistem baik termasuk merekrut pengajar dari
luar, sedangkan pada masa M. Ali Chudari produk lulusan madrasah sudah tersedia
sehingga dapat dimanfaatkan kontribusinya untuk kemaslahatan bersama,
diantaranya nama-namanya seperti; Moh. Cholil, Suliyono, Syamsudin, dan lain
sebagainya.
Muslimat
dan Raudlatul ‘Athfal
Sama
halnya dengan NU Ranting Jatipandak yang menjadi embrio berdirinya Madrasah
Ibtidaiyyah Darussalam, Ranting Muslimat NU Jatipandak juga mempunyai
kontribusi besar dalam perjuangan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui sebuah
lembaga pendidikan formal. Berdasar pada rangkuman hasil interview tak
terstruktur dengan salah seorang tokoh Muslimat NU Jatipandak didapatlah
riwayat bahwa Muslimat NU Jatipandak sudah ada sejak sekitar awal tahun 1980-an.
Selain itu Muslimat NU Jatipandak juga merupakan penggerak berdirinya lembaga
pendidikan Raudlatul ‘Atfal (RA) Darussalam pada tahun 1983 sebagai
lembaga pendidikan kanak-kanak berbasis Nahdlatul ‘Ulama di Jatipandak. Hal ini
dikarenakan diawal-awal usai pendirian semua pengelolaannya dikelola langsung
oleh Ranting Muslimat NU Jatipandak, baik pembiayaannya yang menggunakan kas
organisasi hingga para pengajarnya yang diambil dari anggota sendiri secara
bergantian dan berjadwal.
Banser
Jatipandak vs Kubu Kiri PKI
Berdasarkan
riwayat dari salah satu sesepuh desa Jatipandak yang berhasil dihimpun
bahwasahnya Ansor dan Banser Jatipandak juga mempunyai kontribusi dalam
pertempuran melawan pemberontak Partai Komunis Indonesia (PKI), ini terlepas
dari fenomena perdebatan pro-kontra tentang sepak terjang PKI itu sendiri. Diantara
salah satu tokoh Banser Jatipandak kala
itu menurut cerita yang kami dapat seperti Sahabat Parto yang saat itu
umurnya masih remaja. Meski berwatakan kecil namun sahabat Parto mampu tampil gesit
dan lincah dalam berperang menumpas PKI bersama pasukan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI).
Saat itu salah
satu lokasi pembai’atan-nya adalah di daerah Babatan Kec. Mantup oleh seorang
Kyai (yang namanya tak berhasil kami himpun). Usai pembaiatan ketika hendak
pulang para Banser yang mengikuti rangkaian pembaiatan diberikan bekal berbagai
macam atribut keamanan yang tentu telah ditempeli “asmaan, hizib, dan doa” dari
para kyai sepuh guna sebagai alat untuk menumpas kubu garis kiri PKI yang
dianggap membahayakan NKRI dengan idealism komunismenya.
Berdasar cerita
yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jatipandak bahwa napak tilas lokasi
penumpasan pengikut PKI adalah di daerah yang disebut “Dalan Cikar” yang
lokasinya berada di tengah hutan antara Desa Jatipandak dengan Desa Pamotan.
Disebut “Dalan Cikar” karena konon menurut mitologi mayarakat sekitar
daerah tersebut dulunya merupakan salah satu jalur yang kerap dilewati angkutan
“cikar” (Delman). Adapun jenazah para pemberontak PKI yang tewas terbantai dimakamkan
secara masal di daerah itu pula bersama atribut kebesaran konon serta
senjata-senjata mereka pula.
BAGIAN IV
EPILOG
Paradigma “JAS HIJAU”
Jika
dalam prolog awal dikutip dengan sebuah penggalan kata “Jas Merah” ala Bung
Karno yang memberi isyarat tentang ajuran utuk tetap menjaga sejarah atau
hikayat napak tilas sebuah perjuangan tempo dulu. Maka paparan akhir ini
dicupliklah istilah “Jas Hijau”, sebuah istilah yang tentu tak asing terutama
dari kalangan Nahdliyyin, “Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa ‘Ulama. Istilah
ini awal kemunculannya pertama-kali digaungkan oleh Kiai Haji. M. Hasan
Mutawakkil Alallah selaku Ketua PWNU Jawa Timur pada saat Kirab Resosuli Jihad tahun
2015 di Tugu Surabaya.
Jika dipahami
secara filosofis istilah “Jas Hijau” bukan hanya sekedar akronim politis
sebagai perlawanan dogma “Jas Merah” Bung Karno yang terlebih dahulu sudah menjadi
paradigma nasional. Akan tetapi jika dikorelasikan dengan paradigma historitas istilah
“Jas Hijau” justru mempunyai sebuah korelasi tersendiri untuk melengkapi
pemahaman “Jas Merah” Bung Karno. Kita tahu bahwa peran para ‘Ulama tempo dulu juga
tak kalah nasionalis dengan tokoh-tokoh nasionalis modernis semacam; Tiga
Serangkai Kemerdekaan (Soekarno, Hatta, Syahir) atau Tiga Serangkai Indische
Partij (Douwes Dekker, Tjipto Mangkusumo, Suwardi “Dewantoro”). Peran tiga
serangkai Nahdliyyin (Hardatussyaikh Hasyim Asyari, KH. Wahab Hasbullah, KH.
Bisri Syansuri) juga memiliki urgensi tersendiri bagi perjuangan merebut
kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, hingga membangun bangsa lintas orde
melalui organisasi Nahdlatul ‘Ulama yang mampu menjadi garda depan civil
society ke-Indonesiaan.
Para ‘ulama juga memegang peran yang penting dalam pembentukan
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, dimana melalui sebuah sidang dalam Dokuritsu
Jumbi Coosakai, atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) para ‘ulama mampu
menjadi sebuah referensi dan alat pertimbangan bagi penentuan dasar negara
Indonesia yang baru memproklamasikan diri sebagai bangsa yang merdeka. Diantara
‘ulama yang menjadi wakil umat islam dalam BPUPKI antara lain; KH. Wahid
Hasyim, KH. Mas Mansyur, KH. Kahar Mudzakir, serta Ki Bagus. Sikap KH. Wahid
Hasyim yang melunakkan diri terhadap argumennya yang semula berkeinginan
menjadikan redaksi “Kewajiban menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya”
bagi sila pertama Pancasila, hingga akhirnya beliau menyepakati redaksi
“Ketuhanan Yang Maha Esa” dari Ir. Soekarno merupakan bukti kongket
kenegarawanan dari para ‘Ulama terdahulu.
Kemudian dalam usaha untuk mempertahankan kemerdekaan, sekali lagi
para ‘ulama mampu menjadi motor penggerak bagi bangsa Indonesia, khususnya umat
islam untuk mempertahankan tanah air. Resolusi Jihad dari Nahdlatul ‘Ulama pada
22 Oktober 1945 merupakan salah satu bukti kongket bahwa para ‘ulama
berkontribusi besar bagi bangsa Indonesia, dimana melalui resolusi yang
ditandatangani oleh Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari dan digalakkan oleh para
‘kiai dan santri mampu menjadi pemancik
pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dalam rangka mempertahankan Indonesia,
khususnya Surabaya dari sekutu dalam hal ini NICA. Bukti lain yang
semakin memperlihatkan kebangsaan dari para ‘ulama tampak pada beberapa lagu
yang diciptakan sebagai alat pemompa semangat bangsa Indonesia dalam membela
tanah air, diantara lagu perjuangan yang cukup popouler diantara para umat
islam khususnya Nahdliyyin adalah lagu ciptaan dari KH. Wahab Hasbullah yang
berjudul “ Yaa Lal Wathan” yang juga pernah diplot sebagai Mars
Syubbanul Wathon yang merupakan perkumpulan pemuda semi formal bentukan beliau, lagu
kombinasi bahasa Arab-Indonesia tersebut dibuat oleh KH. Wahab Hasbullah pada
tahun 1934 dengan tujuan sebagai alat untuk memompa semangat bangsa Indonesia
khususnya umat islam untuk mempunyai rasa cinta tanah air, sehingga diharapkan
akan lahir beberapa sosok baru yang mempuyai nilai kebangsaan yang kental guna
membawa Indonesia terbang menuju langit yang bebas, pada akhirnya harapan
tersebut tidak bertepuk sebelah tangan seiring muncul beberapa tokoh nasionalis
baru, diantaranya adalah sang proklamator Ir.Soekarno yang juga merupakan salah
satu murid dari KH. Wahab Hasbullah sendiri. Belum lagi putra belau, Kiai Wahib
Wahab yang merupakan mantan menteri agama dua periode era Bung Karno sekaligus salah
satu tokoh garda depan pasukan Hizbullah “ala santri” dalam rangka merebut
kemerdekaan. Selain itu masih banyak para ‘ulama lain yang tak kalah besar
jasanya bagi Indonesia yang tak dapat disampaikan satu persatu, karena memang begitu
banyak dan besar jasa-jasa dari para ‘Ulama itu sendiri.
Nah, uraian
panjang diatas dapatlah disimpulkan bahwa “Jas Hijau” merupakan sebuah
rangkaian rangkap dari “Jas Merah” Bung Karno yang tak dapat dipisahkan satu
sama lainnya. Oleh karenanya pemahaman perjuangan para tokoh kala serta ‘ulama
di masa lama haruslah dibingkai rapi, dalam palung hati yang harus terus disirami
motivasi tuk lanjutkan pengorbanan perjuangan yang penuh darah dan nyawa penghabisan,
demi kelestarian dan keberlangsungan kenegaraan berbingkai ukuwah kegamaan.
Harapan Kecil
Sebagai manusia biasa penulis menyadari bahwa paparan yang telah
disampaikan sangat jauh dari kata sempurna. Apalagi pembahasan tersebut
berkaitan dengan pembahasan sejarah yang menurut etimologis berasal dari bahasa
Arab “Syajarah” yang
berarti pohon. Adapun sebuah pohon tentulah memiliki sebuah cabang-cabang yang
banyak. Dengan kata lain dinisbatkan pada pembahasan ini yang berkaitan dengan
sejarah tentu merupakan sebagaian kecil dari cabang-cabang sejarah Oleh karena itulah penulis memohon maaf
apabila terdapat beberapa pembahasan yang mungkin kurang sesuai dengan
referensi dari para pembaca.
Adanya perbedaan cabang dalam sejarah justru menjadi sebuah hikmah
dalam pengembangan sendiri. Penulis berharap adanya perbedaan dan kurangnya
cabang dalam pembahasan tulisan ini dapat dikembangkan kembali guna sebagai
penjajakan cabang-cabang lain yang belum terbahas dalam tulisan ini. Akhir kata
salamun Qaulan Min Rabirrohim, wassalamu ‘alaikum warokhmatullahi
wabarakatuh.
DAFTAR RUJUKAN
3. Opini HIMMABA - Himpunan
Mahasiswa Malang Alumni Bahrul ‘Ulum (http: www.himmaba.com )
4. Arsip Masjid
Jami Al Musyarofah Jatipandak
5. Wawancara Tak
Terstruktur : Ketua Ranting NU Jatipandak
6. Wawancara
Tak Terstruktur : Sesepuh Desa
7. Wawancara Tak Terstruktur : Senior Muslimat
NU Jatipandak
0 Komentar
Terima kasih atas masukan anda.