-->

Pahlawan Tanpa Status: Dilema Guru Honorer di Sekolah Swasta

Rizal Nanda Maghfiroh
0

Ada satu pertanyaan yang terus bergema dalam hati para guru honorer di seluruh Indonesia: Apakah pengabdian harus selalu dibayar murah? Setiap hari, mereka berdiri paling depan dalam urusan mencerdaskan anak bangsa. Namun, ketika sampai pada penghargaan terhadap hidup mereka sendiri, nasib yang diterima justru jauh dari kata layak.

Kebijakan pemerintah terkait Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) sering dianggap sebagai solusi emas bagi ketidakpastian guru honorer. Namun, di balik gegap gempita seleksi dan janji peningkatan kesejahteraan, ada fakta yang perlu diingat: program P3K paruh waktu lebih banyak menyasar guru honorer di sekolah negeri, bukan sekolah swasta. Sementara itu, guru honorer di sekolah swasta tetap terjebak dalam realitas penuh ketimpangan, digaji seadanya, tanpa kepastian masa depan, dan sering dianggap sebagai “cadangan” dalam dunia pendidikan.

Padahal, guru honorer swasta juga menjalankan amanah negara: mengajar kurikulum yang sama, membina karakter, dan memastikan pendidikan tetap berjalan hingga ke wilayah yang sering luput dari perhatian pemerintah. Mereka menambal “lubang-lubang sistem” dengan ketulusan yang luar biasa.

Sosiolog pendidikan, Paulo Freire, menyatakan bahwa pendidikan harus menjadi ruang pembebasan manusia, bukan justru menghasilkan rantai ketidakadilan baru. Tetapi para pendidik itu sendiri kini menjadi pihak yang dipinggirkan oleh sistem yang mereka topang.

Pemikiran Ki Hajar Dewantara juga seolah menggema kembali: “Ing ngarsa sung tuladha,” di depan memberi contoh. Bagaimana guru dapat memberi keteladanan tentang harga diri dan martabat, jika martabat mereka sendiri kerap diremukkan oleh kenyataan ekonomi yang getir?

Prof. Suyatno, salah satu akademisi pendidikan, pernah menegaskan bahwa mutu pendidikan mustahil meningkat tanpa jaminan kesejahteraan bagi guru. Kualitas mengajar tidak hanya lahir dari niat baik, tetapi juga dari lingkungan hidup yang manusiawi. Guru yang dihimpit kebutuhan hidup akan mengajar dengan beban psikologis yang tidak ringan.

Sementara itu, pakar kebijakan publik Andreas Harsono (dalam konteks kritik sosialnya terhadap ketimpangan) mengingatkan bahwa diskriminasi yang berlangsung secara sistematis sering kali tersembunyi dalam bentuk yang dibenarkan oleh aturan. Program P3K yang tidak menyentuh guru swasta adalah contoh bahwa ketidakadilan bisa terjadi melalui jalur yang tampak legal.

Jika negara benar-benar ingin merdeka dalam pendidikan, maka kemerdekaan itu harus menyentuh semua yang berdiri sebagai penggerak utama: guru honorer, tanpa kecuali. Tidak boleh ada kasta pendidikan, negeri lebih berharga, swasta dianggap sekadar pelengkap.

Saatnya Indonesia berdiri tegak di depan para pendidik yang telah lama menunduk oleh ketidakpastian. Negara perlu hadir untuk menegakkan martabat guru honorer: melalui kebijakan inklusif, skema insentif yang adil, dan pengakuan profesional yang jelas.

Sebab di hadapan murid-murid kecil itu, guru adalah pahlawan. Dan pahlawan tidak sepatutnya dibiarkan berjuang sendirian.

Tags

Posting Komentar

0 Komentar

Terima kasih atas masukan anda.

Posting Komentar (0)