Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang sudah
berdiri sejak ratusan tahun yang lalu. Di lembaga inilah diajarkan dan
didirikan ilmu-ilmu agama kepada santri. Pesantren berasal dari kata “santri”
dengan awalan Pe- dan akhiran –an yang berarti tempat tinggal santri.
Soegarda poerbakawatja juga menjelaskan bahwa pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuik mempelajari agama islam. Tujuan dari pesantren itu sendiri adalah “Menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlaq mulia, bermanfaat bagi masyarakat layaknya Rasulullah Muhammad SAW”.
Soegarda poerbakawatja juga menjelaskan bahwa pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuik mempelajari agama islam. Tujuan dari pesantren itu sendiri adalah “Menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlaq mulia, bermanfaat bagi masyarakat layaknya Rasulullah Muhammad SAW”.
Pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, dimana Kyai,
Ustadz, Pengusrus Pesantren, serta para santri hidup bersama dalam suatu lokasi
/ komplek, berlandaskan nilai-nilai agama lengkap dengan norma-norma dan
kebiasaan-kebiasaannya sendiri. Pesantren merupakan keluarga besar dibawa
asuhan seorang Kyai atau ulama, dan dibantu oleh para pengurus pesantren dan
para ustadz-ustadznya. Dalam dunia pesantren, seorang santri mempunyai dua
orang tua, pertama yakni ibu-bapak yang melahirkannya dan yang memberi nafkah
fisik, serta kyai dan Bu Nyai yang menjadi orang tua kedua yang mengasuhnya di
pesantren.
Penbelajaran di pesantren biasanya diberikan dalam bentuk
sorogan, bandongan, halaqah, dan hafalan. Sorogan
ialah belajar secara individual dimana seorang santri berhadapan dengan seorang
Ustadz, akhibatnya akan terjadi proses interaksi saling-mengenal antara
keduanya. Bandongan ialah belajar secara kelompok yang diikuti oleh seluruh
santri, biasanya metode ini dilakukan oleh Kyai langsung. Halaqah ialah diskusi
untuk memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan benar dan salahnya.
Salah satu hal yang menarik yang terdapat pada pesantren
adalah rasa tawadhu’(hormat) seorang santri kepada Kyai. Seorang santri
biasanya memiliki rasa hormat yang tinggi kepada seorang kyai, hal ini
dikarenakan seorang kyai merupakan pemberi nafkah batin bagi mereka. Jika orang
tua kandung dianggap sebagai pemberi nafkah fisik berupa sandang, pangan, dan
papan, maka bagi mereka kyai merupakan pemberi nafkah batin berupa Ilmu manfa’at.
Ilmu tentu lebih mulia daripada dunia, olehkarena itu para santri memiliki rasa
tawadhu’ yang tinggi kepada Kyai mereka. Para santri yakin bahwa kyai tidak
mungkin akan mengajarkan hal-hal yang salah dan bertentangan dengan islam.
Sikap tawadhu’ santri
kepada kyai terlihat dalam proses pembelajaran, ketika Kyai menjelaskan suatu
hal kepada para santri, para santri tentu akan langsung merespon stimulus yang
diberikan oleh Kyai. Perkataan dari seorang kyai seakan-akan menjadi firman
tuhan yang pasti selalu benar sesuai dengan ajaran islam. Akhibatnya tidak ada
sanggahan sedikit pun dari santri terhadap perkataan dari Kyai.
Hal ini memberikan kesimpulan pada kita bahwa proses pembelajaran tersebut terfokus pada stimulus dan respon antara pendidik (dalam hal ini Kyai) dengan peserta didik (santri). Akhibatnya dalam pembelajaran tersebut keaktifan dari santri terbatasi oleh stimulus dan respon tersebut.
Hal ini memberikan kesimpulan pada kita bahwa proses pembelajaran tersebut terfokus pada stimulus dan respon antara pendidik (dalam hal ini Kyai) dengan peserta didik (santri). Akhibatnya dalam pembelajaran tersebut keaktifan dari santri terbatasi oleh stimulus dan respon tersebut.
Berdasarkan sekilas paparan diatas, maka sebagian orang
berpendapat bahwa pembelajaran di Pesantren cenderung Behavioristik yang
terfokus pada Stimulus dan Respon antara Kyai dengan Santri. Pembelajaran di
pesantren cenderung pasif karena para santri selalu mengikuti pendapat dari
kyai mereka.
Namun fakta yang terjadi berbanding terbalik dengan pernyataan
diatas, banyak diantara para santri yang justru lebih aktif berkarya di luar
kelas daripada mereka yang bukan santri. Para santri seakan-akan lebih mandiri
dan kreatif, hal ini dapat kita lihat keseharian dari santri tersebut. Sebagai
contohnya dalam pergaulan terhadap masyarakat, para santri tentu lebih mudah
bergaul dan melebur jika dihadapkan dengan masyarakat daripada seseorang
peserta didik yang bukan santri.
Contoh lain bahwa para santri cenderung aktif dan kreatif adalah
santri di Pesantren Tauhidullah yang berlokasi di Kompleks Masjid Al Azhar,
Jalan Klentengsari, Banyumanik, Semarang.
Santri di Pesantren Tauhidulloh
memiliki unit usaha bernama Lia’s Gallery yang memproduksi aneka
kaligrafi dari beragam bahan dasar seperti tembaga hingga beludru yang
telah diekspor ke Malaysia, Swiss, Dubai, Singapura dan beberapa negara Timur
Tengah lainnya. Setiap tahunnya, Malaysia misalnya memesan 1 sampai 2
kontainer. Satu kontainer itu mencapai 2.000 buah kaligrafi.
Di pesasntren Mudtaudiin jepara, para santri justru mampu merakit
sebuah leptop yang banyak diminati
pembeli, karena harganya cukup murah dan mampu bersaing dengan kualitas laptop
pabrikan. Pesanan pun mulai
berdatangan dari berbagai instansi pemerintah, di wilayah Jepara, Semarang,
Surabaya dan Jakarta, serta berbagai akademisi dan sekolah.
Kedua fenomena diatas memberi simpulan bahwa para santri memiliki
potensi yang cukup besar, mereka cenderung aktif, kreatif, dan mandiri.Pernyataan
diatas mejelaskan pada kita bahwa Pendidikan di pesantren tidak sepenuhnya
menggunakan teori Behavioristik yang memfokuskan pada stimulus dan respon. Jika
seseorang pendidik mendidik murid menggunakan teori Behavioristik tentu
keaktifan dan kekreatifan murid akan terbatasi bahkan tidak berkembang, Akan
tetapi sebagaimana dijelaskan diatas, bahwasanya santri di pesantren cenderung
kreatif dan aktif terhadap sesuatu. Hal ini mematahkan pernyataan sebelumnya
bahwa pengajaran di Pesantren cenderung Behavioristik.
Perlu kita ketahui bahwasanya hampir semua Kyai di Pesantren pasti akan mengingatkan pada peserta didiknya
(santri) untuk mengamalakan ilmu yang dimilikinya. Hal ini dikarenakan ilmu
jika tidak diamalkan pasti ilmu tersebut tidak ada gunanya.
Syaikh Abdurrahman
bin Qasim An Najdi mengatakan, “Amal
adalah buah dari ilmu. Ilmu itu dicari demi mencapai sesuatu yang lain. Fungsi
ilmu ibarat sebatang pohon, sedangkan amalan seperti buahnya. Maka setelah
mengetahui ajaran agama Islam seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab
orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya
daripada orang bodoh.” . Hal inilah yang menjadi dasar mengapa
para kyai menyuruh para santrinya untuk mengamalkan ilmunya.
Para Kyai
mengingatkan para santri untuk mengamalkan ilmunya bertujuan agar para santri
tidak lupa untuk mengembangkan ilmu yang telah diterima dari kyai, sehingga
santri akan lebih aktif dan berkembang dalam kehidupan mereka. Kyai tentu tidak
menginginkan para santrinya menjadi orang yang pasif. Penjelasan ini, kembali
memberi penjelasan pada kita bahwasanya Pendidikan di Pesantren tidak
menekankan pada teori Behavioristik. Memang jika dilihat secara sekilas model
pembelajaran di Pesantren mirip pembelajaran menggunakan teori Behavioristik,
akan tetapi sejatinya pembelajaran di Pesantren tidak sepenuhnya menggunakan
teori Behavioristik.
Alasan lain yang
membantah bahwa Pendidikan di Pesantren menggunakan teori Behavioristik
sepenuhnya adalah bahwa di pesantren para santri seringkali melakukan
diskusi-diskusi baik formal seperti Bahsul Masail, maupun diskusi non formal,
yang kebanyakan mereka lakukan di tempat tempat santai seperti warung kopi.
Pemikiran dari para santri cenderung heterogen, hal ini dikarenakan dalam
pesantren mereka mampu bertukar informasi dengan sesamanya. Hal ini kembali
menegaskan bahwa pendidikan di pesantren tidak sepenuhnya menggunakan teori
Behavioristik.
Pernyataan-pernyataan
diatas menghasilkan satu pertatanyaan pokok, yakni “jika tidak menggunakan teori behavioristik, pembelajaran di pesantren
menggunakan teori apa.?”. Pertanyaan tersebut dapat kita jawab menggunakan
analisa dari pernyataan sebelumnya. Di atas tadi disebutkan bahwa hampir semua
kyai di Pesantren tentu akan selau mengingatkan pada para santri untuk
mengamalkan ilmunya dengan tujuan agar ilmu yang dimiliki santri akan
berkembang. Hal ini memberikan kesimpulan pada kita bahwa pesantren seakan-akan
menggunakan teori Kontruksitivisme. Teori Kontruksitivisme adalah salah satu
teori dalam pembelajaran dimana yang menjadi titik tekan dalam kegiatan belajar
adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Siswa diberi
kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang sesuatu.
Akan tetapi dalam
teori Kontruksitivisme ada satu hal yang kurang berkesinambungan dengan model
pembelajaran di Pesantren. Menurut teori Kontruksitivisme guru tidak
mentransferkan pengetahuan yang dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk
pengetahuannya sendiri. , jadi seakan-akan pengetahuan itu berasal dari dalam
siswa itu sendiri. Pernyataan inilah yang menjadikan teori Kontruksitivisme
sedikit berbeda dengan model pembelajaran di Pesantren, dalam Pesantren seorang
Kyai dianggap sebagai “Bahrul Ulum”(Lautan
ilmu) yang menjadi sandaran bagi santri dalam kehidupan di Pesantren. Dalam
pesantren kyai dianggap sebagai media Pentransfer ilmu pengetahuan, hal inilah
yang membuat para santri memiliki tawadhu’(rasa hormat) yang tinggi kepada kyai
mereka. Para santri percaya bahwa para ulama adalah pewaris para nabi.
Penjelasan ini memberi kesimpulan pada kita bahwa model pembelajaran di
pesantren sedikit memiliki corak Behavioristik.
Penjelasan diatas tersebut memberitahukan pada kita
bahwasanya model pembelajaran di Pesantren memiliki ciri Khas yang unik, yakni Integrasi
(perpaduan) antara Behaviorsitik dengan Kontruksitivisme. Dalam penyampaian
materi pendidikan di pesantren seakan-akan seperti Behavioristik yang
menekankan pada stimulus dan respon, namun para santri di pesantren juga di
biarkan secara bebas oleh kyai mereka untuk mengembangkan ilmu mereka sesuai
dengan keampuan dan pengalaman mereka, seperti wacana “ Ilmu jika tidak diamalkan bagaikan pohon tanpa buah”.
Hal ini membuktikan bahwa pendidikan di Pesantren terdapat corak dari Kontruksitivisme. Jadi tak heran kalau di Pesantren terdapat para santri yang aktif, kreatif , serta mandiri. Belum lagi pemahaman akan urgennya nilai luhur akhlak dalam rana sosial di pesantren seakan juga ikut menyulut penerapan teori lain semacam Humanisme yang berdogma memanusiakan manusia.
Hal ini membuktikan bahwa pendidikan di Pesantren terdapat corak dari Kontruksitivisme. Jadi tak heran kalau di Pesantren terdapat para santri yang aktif, kreatif , serta mandiri. Belum lagi pemahaman akan urgennya nilai luhur akhlak dalam rana sosial di pesantren seakan juga ikut menyulut penerapan teori lain semacam Humanisme yang berdogma memanusiakan manusia.
Daftar Pustaka
Budiningsih, Asri.
2005. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: PT Rineka Cipta
Daulay, Haidar
Putra. 2007. Pendidikan Islam.
Jakarta: Kencana
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem pendidikan Pesantren.
Jakarta : INIS
Ahmad, Djamaluddin.
2011. Dzurratun nafisah. Jombang:
Pustaka Ibbien
http://alkautsar.co/?p=673
( Diakses pada 29 Oktober 2012)
http://id.wikipedia.org/wiki/Behaviorisme
(Diakses pada 31 Oktober 2012)
http://bralinknews.blogspot.com/2010/12/laptop-karya-santri-pesantren-rodhotul.html
(Diakses pada 30 Okt 2012)
( Tulisan ini Ditulis Dalam Rangka Tugas Mata Kuliah
Metode Belajar Mengajar FITK UIN Maliki Malang Tahun 2012)
0 Komentar
Terima kasih atas masukan anda.