Harapan dan
Islam
Harapan sangat erat ikatannya dengan keyakinan. Berharap, dengan kata dasar harap dan
ditambah imbuhan ber- yang terbentuk menjadi sebuah kata
kerja. Yakni kita bekerja dengan akal dan hati kita untuk menggantungkan
harapan yang kita miliki kepada Sang Pencipta agar apa yang kita harapkan dapat
terwujud. Selain itu Ia menyakini bahwa ada Zat yang berkuasa atas apa yang
kita harapkan yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Berhasil atau tidaknya suatu
harapan tergantung pada usaha orang yang mempunyai harapan, misalnya Iskhaq
mengharapkan lulus Ujian mengemudi, tetapi tidak ada usaha dari seorang Iskhaq
untuk belajar mengemudi, Bagaimana mungkin Iskhaq lulus dalam ujian mengemudi.
Harapan merupakan bagian dari fitrah
manusia yang tidak mungkin ditinggalkan oleh setiap manusia. Orang yang tidak
mempunyai suatu harapan pada hakekatnya adalah manusia yang mati,
mengingat harapan merupakan titik awal manusia untuk selalu berkembang menuju
kehidupan yang lebih baik.
Islam sendiri menganjurkan manusia
untuk selalu berharap, namun dalam islam yang dimaksud berharap yaitu berharap
pada kemurahan Allah SWT, mengingat Allah SWT adalah tuhan yang maha kuasa atas
segalanya.
Allah SWT berfirman dalam surat Al
insyirah ayat 8:
وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
“Dan hanya
kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. (Qs
Al Insyirah: 8)
Berdasarkan firman Allah SWT diatas dapat kita tarik
kesimpulan bahwa Islam menganjurkan manusia untuk selalu berharap pada Allah
SWT. Allah memerintahkan kita agar hanya kepada Allah saja
hendaknya kita berharap.
Oleh karena itu Imam Baihaqi menyebutkan dalam kitab
beliau “Syu’ab Al Iman” bahwa berharap pada Allah merupakan cabang iman ke 12. Jadi
kalau kita tidak berharap pada Allah atau sedikit harapan kita pada Allah
berarti tidak sempurna imannya. Kalau kita tidak berharap pada Allah berarti
ada dua masalah:
Pertama, kita akan berdosa karena berharap pada Allah merupakan perintah
Allah,seperti yang tertera pada firman Allah diatas
“ dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS Al
Insyirah 8).
Kedua, kita akan terpentok dalam hidup, sering putus asa, dam
kehilangan solusi karena tidak ada yang dianggap bisa menyelesaikan kasus atau
memberikan solusi.
Allah SWT kembali berfirman dalam surat Al baqarah ayat 218 :
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا
فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللهِ وَاللهُ غَفُورُ
رَّحِيمُ
Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu
mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.
Al-Baqarah : 218)
Firman Allah diatas kembali
memberitahukan pada kita bahwa islam menganjurkan umat muslim untuk senantiasa
berharap akan rahmat Allah.
Merealisasikan Harapan
Islam berpendapat bahwa jika
seseorang mempunyai suatu harapan maka seseorang tersebut harus melakukan 3
(tiga) hal untuk mewujudkan harapan tersebut, yakni :
1. Ikhtiar
(Usaha)
Ikhtiar adalah usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan, dan
masa depannya agar tujuan hidupnya selamat sejahtera dunia dan akhirat
terpenuhi. Ikhtiar harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan
semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya. Akan tetapi,
jika usaha tersebut gagal, hendaknya kita tidak berputus asa. Kita sebaiknya
mencoba lagi dengan lebih keras dan tidak berputus asa. Agar ikhtiar atau usaha
kita dapat berhasil dan sukses, hendaknya melandasi usaha tersebut dengan niat
ikhlas untuk mendapat ridha Allah, berdoa dengan senantiasa mengikuti perintah
Allah yang diiringi dengan perbuatan baik.
2. Doa
Disamping kita melakukan usaha-usaha
untuk mewujudkan harapan tersebut, kita juga tidak boleh melupakan doa.
Menurut bahasa do'a berasal dari kata "da'a" artinya
memanggil. Sedangkan menurut istilah syara' do'a berarti "Memohon sesuatu
yang bermanfaat dan memohon terbebas atau tercegah dari sesuatu yang memudharatkan.
Pada hakekatnya segala sesuatu di
dunia ini merupakan bentuk dari kekuasan Allah SWT, jadi kita di dunia ini
hanyalah seorang budak yang lemah, hina, dan tak punya apa-apa, Oleh
karenanya kita membutuhkan pertolongan dari Allah SWT.
Ibnu Attoillah Assakandari, ulama ahli tassawuf mengatakan dalam kitabnya (Al Hikam)
bahwa, “ Agar doa kita dapat dikabulkan oleh Allah SWT, maka doa
tersebut memerlukan rukun, sayap, waktu,
dan sebab. Apabila doa cocok (sesuai) dengan sayapnya maka
doa tersebut akan terbang ke langit (menuju Allah SWT), Apabila doa cocok
(sesuai) dengan waktunya maka doa tersebut akan diterima, Apabila
doa cocok (sesuai) dengan sebabnya maka doa tersebut akan dikabulkan
Allah SWT ”.
KH. Moh. Djamaluddin Ahmad (Pengasuh PP. Bahrul ulum, jombang) menjelaskan
lebih lanjut mengenai pendapat Ibnu Attoillah Assakandari sebagai berikut:
Rukun doa itu ada empat yakni:
1). خسع لله
(khusyu’ kepada Allah). Maksud dari
khusyu’ yaitu apabila kita berdoa, fikiran kita harus fokus kepada Allah
SWT, jangan memikirkan selain Allah.
2). الحياء من الله
(malu kepada Allah). Jika kita berdoa kepada Allah maka kita harus malu kepada
Allah atas segala perbuatan yang telah kita lakukan, karena sejatinya manusia adalah
mahluk yang lemah. Tatkala berdoa kita juga harus memposisikan diri hina,
lemah, dan tak berdaya di mata Allah, karena hal itu merupakan tata karma dalam
berdoa.
3). رجع كرام الله
(
Mengharapkan kedermawanan Allah SWT)
***
Sementara menurut Ibnu Attoillah
sayap dari doa sendiri itu ada dua yakni:
1). الصدق
(jujur menghadap Allah SWT), jujur
disini mempunyai arti bersungguh-sungguh , maksudnya yaitu ketika berdoa kita
harus bersungguh-sungguh dalam meminta bantuan, Tidak hanya sekedar main-main
dalam berdoa.
2). أكل الحلال
(memakan makanan yang halal).
Sejatinya makanan seseorang itu juga
mempengaruhi kualitas doa seseorang kepada Allah SWT. Jika seseorang itu selalu
mengkonsumsi barang haram atau dari hasil haram, maka doa orang tersebut
tergolong kualitas buruk. Doa orang yang demikian sulit untuk dikabulkan oleh
Allah SWT. Begitu juga sebaliknya, orang yang selalu mengkonsumsi barang halal
maka doanya mudah untuk diterima Allah SWT.
Sementara “ sebab
“ agar suatu doa dapat diterima Allah yaitu dengan cara diawali
dengan membaca shalawat pada Nabi Muhammad SAW, dan diakhiri dengan shalawat
pula.
3. Tawakkal
Setelah kita melakukan ikhtiar
(usaha) untuk mewujudkan suatu harapan, dan meminta pada Allah agar Allah
merealisasikan harapan tersebut. Maka kita hanya tinggal melakukan satu hal yakni tawakkal
pada Allah. Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakala’ yang
memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir,
1984 : 1687). Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang
menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah
SWT, karena Allah SWT mempunyai hak mutlaq untuk mewujudkan atau meniadakan
suatu hal di dunia ini.
Jika kita sudah melakukan ketiga hal tersebut maka kita tinggal menunggu
keputusan Allah SWT, apakah Allah berkehendak mewujudkan harapan kita, ataukah
justru meniadakan harapan kita.
Sebuah Hikayat
Dalam kehidupan kadang-kadang kita merasakan bahwa seakan-akan harapan kita
tidak terwujud seperti keinginan kita. Meskipun kita sudah melakukan usaha
semaksimalkan mungkin untuk mewujudkan harapan itu. Kita juga sudah berdoa
sungguh-sungguh pada Allah, akan tetapi seakan-akan Allah SWT tidak peduli
terhadap doa kita. Seringkali permasalahan ini menimbulkan sebuah pernyataan
bahwa Allah SWT tidak mempunyai sifat Ar Rohman (pengasih).
Ulama Sufi terkenal, Ibnu Attoillah memberi tanggapan mengenai hal
tersebut, menurut beliau tatkala kita mempunyai suatu harapan, dan kita sudah
Ikhtiar dengan sungguh-sungguh serta berdoa pada Allah dengan penuh harap, akan
tetapi harapan kita tidak terwujud sesuai dengan keinginan kita, maka kita
tidak boleh menganggap bahwa Allah SWT tidak peduli terhadap hamba-Nya. Perlu
diketahui bahwa Allah itu mempunyai sifat Ilmu (mengetahui) yang lebih dari
pengetahuan manusia, jadi Allah SWT sejatinya lebih mengerti apa yang lebih
baik dan pantas bagi hamba-Nya. Mungkin adakalanya ketika harapan hamba
tersebut dikabulkan Allah justru membawa hamba tersebut menuju jalan yang tidak
baik, begitu juga sebaliknya. Misalnya, ketika seseorang berharap kaya dan
Allah merealisasikan harapan tersebut, mungkin kekayaan tersebut dapat
membawanya lupa kepada Allah.
Dalam kehidupan, kita juga harus selalu mengingat dua hal, yakni: Pertama Sesuatu yang diberikan oleh Allah SWT itu belum pasti sesuai dengan
keinginan (harapan) kita. Kedua, Waktu yang dipilih Allah SWT untuk
memberikan sesuatu pada kita itu belum pasti sesuai dengan waktu yang kita
inginkan.
Dua hal diatas tersebut meruju’ kembali pada pernyataan bahwa Allah SWT
lebih mengerti apa yang lebih baik dan pantas bagi diri kita (manusia).
Didalam kitab Ihya’ Ulumuddin diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah
mempuyai suatu harapan. Akan tetapi harapan nabi tidak serta merta dikabulkan
oleh Allah SWT, karena mungkin hal itulah yang pantas dan baik untuk Nabi
Muhmmad SAW.
Pada suatu hari Nabi Muhammad mendapat perintah dari Allah untuk
memindahkan kiblat umat Islam dari masjidil haram ke Baitul Maqdis. Mendapat
perintah tersebut Nabi Muhammad SAW bersedih, hal ini dikarenakan Baitul Maqdis
merupakan kiblatnya orang yahudi dan Nasrani. Beliau tidak mau menyamakan umat
Islam dengan Umat yahudi dan nasrani. Nabi SAW pun berharap agar Allah SWT
mengembalikan kiblat Umat Islam kembali ke masjidil haram. Setiap malam,
setelah shalat tahajud Nabi SAW selalu memohon pada Allah SWT sambil
menghadapkan wajah beliau kelangit dengan wajah penuh air mata. Berharap turun
wahyu pengembalian kiblat ke ke masjidil haram. Akan tetapi Allah SWT tidak
merespon doa Nabi.
Merasa kasihan pada Nabi SAW, malaikat jibril As pun rela bersujud pada Allah
SWT agar Allah mengabulkan doa Nabi Muhammad SAW.
Allah pun berfirman pada malaikat Jibril As: “ Jibril, aku
melakukan hal teresbut dikarenakan aku suka mendengar desah tangis kekasih-Ku
(Nabi Muhammad SAW) ”.
Akhirnya pada malam ke 480 setelah kejadian pemindahan kiblat umat Islam dari masjidil haram ke Baitul Maqdis, Allah menurunkan wahyu yang isinya tentang pegembalian kiblat umat Islam ke masjidil haram.
Dari hikayat diatas dapat kita simpulkan bahwa Harapan Nabi Muhammad Allah
pernah tidak di kabulkan Allah secara langsung. Hal ini dikarenakan Allah SWT
lebih mengetahui apa yang pantas dan baik bagi kekasih-Nya.
Referensi:
- Widagdho, Joko . 1994. Ilmu budaya dasar. Solo: Bumi Aksara
- Ahmad, KH. Djamaluddin. 2010. Dzurratun nafissah. Jombang: Al Muhibbin
- Adyyana, sunanda. 2001. Ilmu Budaya Dasar. Surakarta : Universitas Muammadiyyah surakarta
- Pengajian Rutin Al Hikam KH. Moh Djamaluddin Ahmad di PP. Bahrul 'Ulum Jombang (17 jan 2011)
- Pengajian Rutin Al Hikam KH. Moh Djamaluddin Ahmad di PP. Bahrul 'Ulum Jombang (03 Mei 2010
Oleh:
Rizal Nanda
Maghfiroh
(Dibuat Dalam Rangka Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar FITK UIN
Maliki Malang 2013)
(Tulisan Pernah
diposing juga di Situs himmaba.com dengan judul Pandangan Islam Mengenai Harapan)
0 Komentar
Terima kasih atas masukan anda.