Dipungkiri
atau tidak bahwa semenjak tahun 2017 memang masyarakat kerap disuguhkan
berbagai istilah-istilah baru oleh media massa, tak terkecuali media
pertelevisian yang tak patah arang berlomba-lomba menyiarkan pemberitaan
terkait sebuah topik yang menjadi pemuncak deretan trending topic. Apalagi
sejak awal 2017 datang berbagai media telah disibukkan dengan pergolakan
panasnya kasus penistaan Al-Qur’an; Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama vis a
vis aliansi umat Islam yang dinahkodai oleh FPI pimpinan Habib Riziq Shihab.
Kasus
yang bermula dari pidato ceplas-ceplos Ahok di kepulauan seribu pada 2016 lalu
akhirnya menjadi bensin yang semakin mengobarkan pergolakan menjelang Pikada
DKI Jakarta 2017 lalu. Sejak saat itu pula pergolakan “politik identitas” semakin
tampak ke permukaan. Diawali dengan aksi berjilid-jilid sekelompok umat islam
dengan simbol-simbol angka keramat yang dimulai dengan aksi demontrasi
besar-besaran bernama “Aksi 212”.
Belum
lagi terseretnya tiga ormas besar ke dalam panasnya aksi tersebut. MUI pun
harus rela terseret ke dalam konflik pasca munculnya aliansi demontrasi
kalangan islam yang menamai diriya GNPF MUI (Gerakan Nasional Pembela Fatwa
MUI), meskipun MUI tak mengakui legitimasi organisasi GNPF MUI sebenarnya
awalnya MUI juga turut ikut andil atas pergolakan kasus penistaan agama yang
menimpa Ahok lewat fatwanya bahwa Ahok memang menghina Al Qur’an.
Disisi
lain NU dan Muhammadiyyah sebagai salah satu penggiat budaya moderat juga turut
terkena imbas pula, bagi NU melalui keputusan PBNU yang menghimbau untuk tidak
ikut carut marut aksi berjilid di Jakarta atas nama Nahdliyyin membuat NU kerap
kali di dogma pihak luar sebagai ormas yang tak punya semangat “bela Islam”.
Begitu juga Muhammadiyyah yang terpecah menjadi dua kubu dalam menyamakan persepsi seputar aksi berjilid tersebut. Meskipun sebenarnya PP Muhammadiyyah juga tak mengeluarkan keputusan organisasi secara resmi seputar fenomena sosial tersebut. Dawuh Buya Syafei Ma’aruf selaku Ketua Muhammadiyyah Tahun 2000 menyikapi fenomena kriminalisasi Gubernur Ahok pun semakin membuat riuh pergolakan di Muhammadiyyah, kala itu Buya Syafei mengatakan;
Begitu juga Muhammadiyyah yang terpecah menjadi dua kubu dalam menyamakan persepsi seputar aksi berjilid tersebut. Meskipun sebenarnya PP Muhammadiyyah juga tak mengeluarkan keputusan organisasi secara resmi seputar fenomena sosial tersebut. Dawuh Buya Syafei Ma’aruf selaku Ketua Muhammadiyyah Tahun 2000 menyikapi fenomena kriminalisasi Gubernur Ahok pun semakin membuat riuh pergolakan di Muhammadiyyah, kala itu Buya Syafei mengatakan;
" Sekiranya saya telah membaca secara utuh
pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu yang menghebohkan itu, dalam
fatwa itu jelas dituduhkan bahwa Ahok telah menghina al-Qur'an dan menghina
ulama sehingga harus diproses secara hukum, semua berdasarkan Fatwa MUI yang
tidak teliti itu, semestinya MUI sebagai lembaga menjaga martabatnya melalui
fatwa-fatwa yang benar-benar dipertimbangkan secara jernih, cerdas, dan
bertanggung jawab, fatwa atau pandangan agama itu benar, shahih, jelas atau
sama seperti apa yang disampaikan ahli agama, jadi jangan percaya sama orang.
Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin
pakai Surat Al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya.
Perhatikan, apa terdapat penghinaan Al-Qur'an? Hanya otak sakit saja yang kesimpulan begitu, yang dikritik Ahok adalah mereka yang menggunakan ayat itu untuk membohongi masyarakat agar tidak memilih dirinya, apakah kita mau mengorbankan kepentingan bangsa dan negara itu akibat fatwa yang tidak cermat itu? Atau apakah seorang Ahok begitu ditakuti di negeri ini, sehingga harus dilawan dengan demo besar-besaran? Jangan jadi manusia dan bangsa kerdil, untuk kepentingan klarfiikasi atas legalitas pendapat keagamaan atau fatwa tentang adanya dugaan kasus penistaan atau penistaan agama yang dilakukan oleh saudara petahana Basuki Purnama."
Perhatikan, apa terdapat penghinaan Al-Qur'an? Hanya otak sakit saja yang kesimpulan begitu, yang dikritik Ahok adalah mereka yang menggunakan ayat itu untuk membohongi masyarakat agar tidak memilih dirinya, apakah kita mau mengorbankan kepentingan bangsa dan negara itu akibat fatwa yang tidak cermat itu? Atau apakah seorang Ahok begitu ditakuti di negeri ini, sehingga harus dilawan dengan demo besar-besaran? Jangan jadi manusia dan bangsa kerdil, untuk kepentingan klarfiikasi atas legalitas pendapat keagamaan atau fatwa tentang adanya dugaan kasus penistaan atau penistaan agama yang dilakukan oleh saudara petahana Basuki Purnama."
Alhasil
sejak saat itu pula mulai viral di jagat pemberitaan tentang sebuah trending topik
“Kriminalisasi”, ntah itu istilah kriminaliasi ‘Ulama atau pun kriminaliasi
tokoh masyarakat. Tentu saja fenomena ini sangat berkaitan erat dengan fenomena
estafet penuntutan, baik kalangan poltikus atau bahkan para pemimpin ormas
keagamaan. Runtutan kasus yang menimpa Habib Riziq Shihab sekalu pentolan FPI
atas pelaporan berbagai pihak tentu menjadi sebuah afirmasi tentang fenomena
perlombaan penuntutan kala itu. Itu belum termasuk kasus yang menimpa Buni Yani
atas tuduhan ujaran kebencian pada Gubernur Basuki Cahya Purnama alias Ahok.
Tak khayal kala itu pun jagat pemberitaan kerap dihiasi tagar “Kriminalisasi
Ulama” atau “kriminalisasi Agama”.
Kekalahan
Basuki Cahya Purnama dalam persidangan pun tak membuat tensi gejolak identitas
menurun. Malah semakin memanas pasca Wiranto selaku ketua Kemenkumham memnuat
heboh dengan keberaniannya mengeluarkan ketetapan untuk membubarkan Ormas
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap mempunyai ekspektasi berlebih untuk
melakukan tindakan “Makar” pada NKRI atas ide khilafah yang tak dibarengi
kontribusi pembangunan nasional. Fenomena itu pula yang membuat sekat antara
kaum penggiat budaya islam ketat dengan pro negara semakin memanas.
Sontak
tagar “Makar” pun mencuat ke permukaan pemberitaan, sehingga para insan awam pun
kembali dikenalkan dengan istilah “Makar” yang berartikan sebuah usaha untuk
menggulingkan pemerintahan yang sah. Disisi
lain golongan pro HTI pun tetap berspekulasi bahwa tindakan yang dilakukan pemerintah
seakan membawa nuansa kediktatoran akan sebuah asasi kemanusiaan. Isu kriminalisasi
‘Ulama pun kembali mencuat ke permukaan, bahkan isu komunis kembali menyusup pemerintahan
pun kembali digaungkan.
Apalagi keberanian Jendral TNI Gatot Nurmanto melegalkan kembali film pemberontakan PKI yang dilarang sejak orde baru runtuh semakin mengafirmasu isu pemberitaan tentang kebangkitan PKI, sebagaimana yang kerap digaungkan Habib Riziq Shihab seperti dalam kasus logo PKI dalam rupia edisi terbaru yang resmi di edarkan pada 20117 kemarin.
Apalagi keberanian Jendral TNI Gatot Nurmanto melegalkan kembali film pemberontakan PKI yang dilarang sejak orde baru runtuh semakin mengafirmasu isu pemberitaan tentang kebangkitan PKI, sebagaimana yang kerap digaungkan Habib Riziq Shihab seperti dalam kasus logo PKI dalam rupia edisi terbaru yang resmi di edarkan pada 20117 kemarin.
Munculnya
kubu-kubu di tahun 2017 lalu juga berdampak pada kemunculan sebuah istilah ilmiah
baru di jagat pemberitaan. Dalam hal ini istilah “Perskusi” sebagai tindakan
main hakim dan fonisisasi sendiri pun di boomingkan di jagat pemberitaan.
Mulai dari fenomena arogansi pembakaran pencuri speker yang terjadi di bekasi, fenomena nepotisme golongan yang tak mau mensholati seorang jenazah,
hingga kerapnya riuhnya fenomena penolakan pengajian yang diisi para mubaligh
dari penggiat islam ketat, yang akhirnya memunculkan berbagai respon pro-kontra
atas tindakan tersebut.
Panasnya
pergolakan fenomena sosial yang terjadi di tahun 2017 tentulah semakin mencuatkan
kembaali istilah “Hoax” yang hampir ditemui tiap hari di jagat pemberitaan,
ntah berbentuk isu-isu bohong atau bersifat ujaran kebencian alias provokasi.
Dibongkarnya jaringan “Saracen” sebagai salah satu lapak online perdagangan
isu-isu sosial terkini bersifat provokasi semakin menjadi bukti bahwa berita
hoax yang kerap disebar tiap hari, bukan sekedar sebuah eksistensi untuk unjuk
gigi terkait pembenaran sebuah gagasan yang diyakini. Melainkan sudah bermetamorfosis
menjadi sebuah peluang bisnis busuk yang mencoba memanfaatkan gonjang ganjing
di jagat negeri pertiwi.
0 Komentar
Terima kasih atas masukan anda.