![]() |
Sejarawan Agus Sunyoto melakukan kajian tentang Gajahmada dan Lamongan |
Perbincangan tentang kerajaan Majapahit
mungkin lebih terdengar familiar daripada kerajaan Hindu lain, termasuk
kerajaan Airlangga sekalipun. Penyebabnya bervariasi, ada yang memandang
Majapahit sebagai inspirasi para founding father dalam membentuk legalitas
formil negara Indonesia. Ada yang melihat sudut pandang intrik konflik
perebutan politik kekuasaan sesama keluarga kerajaan. Bahkan mungkin ada yang
terhipnotis dari serial drama klasik Tutur Tinular buatan S Tidjab, dengan
tambahan cerita fiktif Arya kamandanu beserta pedang sakti naga Puspa.
Kefamiliaran peradaban Majapahit bahkan
berlaku di lingkungan masyarakat Lamongan. Ini dibuktikan dengan kerap kali
diadakan kegiatan bernuansa penggaliannya napak tilas Majapahit di Lamongan
oleh beberapa paguyuban maupun instansi formil. Padahal dilihat dari sudut
pandang peninggalan bukti sejarah di Lamongan, justru peradaban kerajaan
Kahuripan-nya Airlangga yang terbilang resmi menjadi bagian sejarah Lamongan.
Sebagaimana dikuatkan dengan berbagai bukti sejarah seperti dituturkan di awal
penjelasan.
Jika ingin tahu apa yang membuat jejak
peradaban Majapahit intens diperbincangkan dalam bagian sejarah Lamongan.
Mungkin hikayat Patih legendaris Gajahmada yang berperan sebagai daya tarik
perbincangan tersebut.
Berdasarkan cerita yang beredar turun
temurun di masyarakat Lamongan, dikatakan bahwa Patih Gajahmada yang menurut
kitab Paraton muncul secara tiba-tiba kala tragedi makarnya Ra Kuti. Oleh warga
setempat dianggap sebagai putra daerah asal wilayah Lamongan, yang terlahir
dari seorang wanita bernama Dewi Andongsari. Adapun penyebutan Dewi Andongsari
merujuk pada sebuah petilasan kuno di Dusun Cancing, Desa Sumberejo, Kecamatan
Ngimbang, Kabupaten Lamongan.
Menurut forkware yang beredar di masyarakat
setempat, dengan dikuatkan pula oleh Mbah Sulaiman selaku juru kunci makam Dewi
Andongsari. Maka sekiranya perlulah mengetahui hikayat turun temurun tersebut,
teruntuk sebuah pembahasan utuh sejarah Majapahit yang penuh misteri.
Disebutkan oleh Mbah Sulaiman bahwa Dewi
Andongsari merupakan ibu kandung Gajahmada, yang berstatus sebagai selir Prabu
Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit. Dikarenakan kedengkian dua permaisuri
Raden Wijaya, Dara Petak dan Dara Jingga. Akhirnya muncul keinginan dua
permaisuri tersebut untuk membunuh Dewi Andongsari yang kala itu sedang
mengandung bayi laki laki.
Berkat kesetiaan salah satu prajurit
Keraton, akhirnya Dewi Andongsari terselamatkan dari rencana pembunuhan. Demi
keselamatan, Dewi Andongsari pun harus rela diasingkan di sebuah daerah bernama
Cancing.
Cerita turun temurun tersebut berlanjut
dengan meninggalnya Dewi Andongsari yang dimakamkan di tempat bernama Gunung Ratu. Hingga akhirnya seorang
kepala dukuh setempat bernama Ki Gede Sidowayah memungut Gajahmada yang saat
itu masih bayi.
Dikarenakan Ki Gede Sidowayah merasa kurang
mampu dalam mengasuh bayi. Akhirnya bayi tersebut pun dititipkan pada adik
perempuannya bernama Nyai Wurawari yang tinggal di desa Modo. Nah, disinilah
yang menjadi latar belakang munculnya forkware masyarakat setempat terkait nama
Joko Modo (Pemuda dari Modo) sebagai
nama kecil dari Gajahmada.
Kisah napak tilas patih termasyhur
Majapahit di Modo, oleh masyarakat lokal kembali dikaitkan dengan beberapa
bukti sejarah. Kali ini berupa sebuah Sitinggil (Arti: Bukit Tinggi) yang
merupakan tempat favorit Joko Modo untuk mengawasi kerbau-kerbau gembalanya
dari arah atas. Selain itu di daerah Modo juga terdapat sebuah Sendang (Kolam)
bernama Sendang Sidowayah, sebagai persembahan Joko Modo teruntuk ayah
angkatnya.
Budayawan senior Agus Sunyoto dalam salah
satu kegiatan napak tilas Gajahmada di Lamongan selatan, pernah mengutarakan
hal menarik tentang hikayat Gajahmada di Lamongan. Agus Sunyoto tak menampik
forkware masyarakat setempat tentang anggapan Gajahmada lahir di Lamongan.
Namun pengarang buku "Atlas
Walisongo" tersebut memberikan statement berbeda tentang asal muasal
Gajahmada yang menurut Forkware merupakan anak dari seorang selir. Dikatakan
oleh Agus Sunyoto bahwa Dewi Andongsari merupakan putri dari Raja Kertanegara,
raja terakhir kerajaan Singosari. Artinya Gajahmada sebenarnya merupakan cucu
dari seorang raja termasyhur.
Penjelasan Agus Sunyoto tersebut terbilang
logis jika dilihat dari bukti sejarah. Hal ini dikuatkan dengan adanya Prasasti
Gajahmada (1273 saka / 1351 m) yang ditemukan di area candi Singhasari Malang yang
juga didirikan atas keinginan Gajahmada sendiri. Sejarawan Universitas Indonesia
Agus Aris Munandar menyebut bahwa pendirian tempat ibadah ( Caitya ) oleh
Gajahmada mungkin merupakan sebuah penghormatan dari Gajahmada kepada
Kertanegara selaku leluhurnya, karena budaya pembangunan caitya biasanya adalah
ditujukan kepada kerabat yang masih terikat hubungan darah.
Meski terdapat beberapa bukti peninggalan
sejarah sebagai penguat anggapan masyarakat setempat tentang Gajahmada sebagai
putra daerah Lamongan. Namun tampaknya beberapa bukti tersebut belum begitu
kuat untuk menunjukkan fakta bahwa Gajahmada memang terlahir di Lamongan.
Alasannya dari sumber sejarah tersebut tak menyertakan ulasan lebih dalam
tentang hikayat Gajahmada melalui bukti kongkrit, bukan sekedar melalui
forkware turun temurun. Hasilnya catatan kesejarahan Indonesia hingga kini pun
masih nihil informasi tentang teori Gajahmada lahir di Lamongan.
Meski demikian penjajakan tentang hikayat
Gajahmada di Lamongan tetaplah menjadi hal menarik yang wajib untuk digali
secara tuntas. Ini disebabkan banyaknya indikator lain sebagai bukti penguat
tentang posisi Lamongan sebagai daerah vital dalam peradaban Majapahit. Sebut
saja seperti situs kuno di Bedander (Kabuh, Jombang) yang berbatasan dengan
Lamongan bagian selatan. Dimana dalam
Paraton memang disebutkan nama Bedander sebagai
lokasi Gajahmada (Pemimpin pasukan Bhayangkara) menyembunyikan Raja
Jayanegara dari keraton yang dikuasai Ra
Kuti.
Ini belum termasuk mengaitkan dengan situs
candi di Boworejo (Desa Cangkring, Kecamatan Bluluk, Kabupaten Lamongan).
Dimana lokasi ini pernah ditemukan empat pasang prasasti Biluluk, yang
terbilang menjadi satu satunya sumber sejarah yang memilki tingkat kejelasan
akurat tentang anggapan Lamongan sebagai bagian peradaban Majapahit.
Sumber:
Tulisan merupakan sub penggalan naskah berjudul "Lamongan Sebagai Pusat Sejarah Indonesia". Dalam buku Pemuda Rantau Lamongan (2018), copyright Diaspora Muda Lamongan
0 Komentar
Terima kasih atas masukan anda.