Sore
kala itu walau mentari telah perlahan condong kearah barat, namun nuansa
atmofsir panas masih tampak menyelimuti hari-hari. Mungkin gegara tensi tinggi
menjelang sayembara politik di pertengahan tahun nanti. Dibawah pohoh beringin
tua tampak sosok yang tak asing di jagat pewayangan. Fisiknya kurus dengan
hidung yang panjang pula, siapa lagi kalau bukan Prabu Welgeduwelbeh alias
Lurah Petruk Si Kantong Bolong, sang tuan pethel sakti Welgeduwelbeh.
Sebenarnya
penampakan dirinya dalam seri episode kali ini tiada lain karena kegundahan
hatinya menentukan pilihan tentang dua langkah yang akan ditempuhnya
sebagaimana dipaparkan dalam dua seri sebelumnya. Mencari Ki Ganesha untuk
mencari jawaban atas penyakit yang dialami pethel sakti terkasih sebagaimana di
opsikan Mahaguru Smarasanta, atau memilih untuk mecari petunjuk tentang “Lautan
Ilmu” sebagaimana disinggung oleh Kyai Smarasanta pada pertemuan terakhir
kalinya.
Ditengah
proses perenungan menentukan pilihan, terlintas di benak Ki Petruk tentang
eksistensi pohon beringin tua yang disandarinya. Kala itu Sang Prabu
Welgeduwelbeh berbincang dengan dirinya sendiri bahwa pohon beringin mempunyai
kontribusi besar yang mampu menjadi garda penopang sendi kehidupan. Selain
berperan sebagai penjaga kelestarian mata air madyapada, beringin tua tersebut
mempunyai urgensi mempersatukan jagat madyapada Hastina dari kepentingan kaum
elit atas identitas pribadi yang kerap didewa-dewakan tiada henti.
“Mengapa
pohon beringin tua ini tak tampak tuah eksistensinya. Hingga tak orang yang
turut ikut membagi idealismenya untuk duduk bersama dibawah lindungan kanopi
dari akarnya”, kata Ki Petruk merenungi fenomena jaman “Now” tersebut.
Diamatilah
pohon beringin tua megah itu olehnya, seketika itu pula Ki Petruk tampak
tersetak saat melihat banyak poster kaum elit yang berlomba menempel di sisi
lain pohon beringin tersebut.
“ Salah satu alasan mengapa pohon beringin tak tampak lagi eksistensi menawan adalah idealisme poster-poster kaum elit yang mengepung dan menancap di batang kejantanan. Hingga sebabkan keengganan para perawan kahyangan untuk bersama menikmati keteduhan dibawah rimbunanya kanopi si beringin tua".
***
Diheningnya
suasana seketika terdengar suara yang tak asing ditelinga pewayangan. Terlihat
dari jauh seakan tampak sosok putih pula diatas dahan pohon.
“Bukan
hanya itu saja cerita mirisnya pohon beringin tua pelindung jagat madyapada”,
kata suara tersebut
“Siapakah
engkau gerangan, apakah engkau empu penunggu pohon beringin ini yang hendak
protes atas kelancangan kaum elit yang memperalat pohon beringin kepunyaanmu”,
kata Petruk.
“Engkau
terlalu larut dengan kenyamanan petualangan sebagai seorang punakawan. Hingga
engkau lupa dengan kolega seperjuangan”.
Tiba-tiba
sosok putih tersebut turun dari pohon beringin tua menghadap Ki Petruk si
Kantong Bolong. “Hanoman !!!. Mengapa engkau bisa hadir pula disini. Lantas apa
maksud dari perkataan engkau sebagaimana tadi ?”. Papar Petruk dengan kondisi
kaget atas kehadiran Hanoman.
“Petruk,
terkait renunganmu tentang poster-poster elit tersebut aku sependapat. Hanya
saja hal yang mengganjal benakku bukan hanya perihal poster-poster kaum elit
yang mencatut si beringin tua. Melainkan pada tindakan busuk elit istana yang
seolah memuja kehebatan tuah si beringin pelindung nusantara Imantaka,
menyiarkan sana-sini eksistensi beringin tua. Namun pujaan-pujaan tersebut
sekedar sebuah alat untuk memperkaya diri melalui sesajen-sesajen pemanja empunya
si beringin tua”.
“Sejak
kapan engkau berada tempat ini Hanoman si wanara putih?”. Tanya Petruk heran.
“Sebenarnya
daku disini juga mempunyai sebuah misi yang disuguhkan guru Smarasanta untuk
memutihkan negeri Imantaka dari warna hitamnya tipu daya, hasutan domba, dan
kabar-kabar hoax serta menjaga marwah pohon beringin tuah sebagai maskot tapal
batas negeri Imantaka”.
***
Petruk
kaget mendengar kata Imantaka yang tentu tak asing di telinga para penggiat
punakawan. Memang semasa Prabu Puntadewa belum mokhsa kehadirat Ilahiyyah,
dirinya pernah ditugasi membegal Jamus Kalimasada yang raib dibawa Ning
Mustikaweni dari Imantaka.
“Jadi ini negeri Imantaka. Negeri agung yang
katanya penuh bumbu kepercayaan pada spiritualitas tentang nilai Sang Hyang
Ilahiyyah”, kata Petruk.
“Imantaka
memang tak seperti cerita-cerita klasik jaman jadul. Sejak senjata globalisasi
dengan dua pisaunya hadir ke permukaan jagat madyapada Imantaka, maka tatanan
Imantaka telah bermetamorfosis tidak sempurna. Alhasil paradigma-paradigma
akuistik yang dipenuhi budaya mengunggulkan kuantitas diri pun perlahan meresap
pada tradisi-tradisi di Imantaka”.
Mendengar
perkataan Hanoman tentang Imantaka, Petruk pun heran. “Sebentar, sejak kapan
engkau tahu banyak tentang seluk beluk jagat Imantaka. Bukankah engkau masih
tertidur lelap tatkala peristiwa pencurian Kalimasada oleh putri Imantaka ?”,
tanya Petruk kembali.
‘Memang
saat itu aku masih tertidur lelap dalam pemanjaan senyapnya informasi dan acuh
tak acuh pada pergolakan di madyapada. Tapi berkat arahan Ki Nala Gareng dengan
mustika tablet saktinya maka daku mulai sedikit terbuka perkembangan di jagat
nusantara. Bukankah dengan sekali klik-klik kita kan mampu menembus jagat halus
madyapada. Jawab Hanoman memberikan klarifikasi.
“
Sesuai dengan dugaanku bahwa si gila teknologi tersebut yang berada dibalik
berubahnya mainsite penyikapanmu tentang teknologi informasi berbasis virtual.Memang
demikian, melalui media-media sakti itu semua sekat-sekat kasta madyapada akan
terbuka melalui sihir-sihir virtual yang ada dibaliknya. Hanya saja media-media
tersebut juga memiliki dampak besar bagi pengembangan mainsite generasi now.
Dulu kebutuhan sandang-pangan-papan merupakan trilogi kebutuhan pokok
keseharian, namun sekarang hadirnya peradaban virtual memberikan sentuan
narsisme diri yang lambat laun menjadi sebuah kebutuhan dalam keseharian”.
Bantah Petruk mencoba tidak mau sependapat dengan produk Gareng yang merupakan rival utamanya.
“Begitu
menakutkan sekali ternyata pusaka sakti Ki Gareng”. Kata Hanoman usai mendengar
argumentasi Ki Petruk Welgeduwelbeh.
“
Pusaka tersebut adalah sumber segala keinstanan di jagat madyapada. Dulu untuk
berkomunikasi dengan jarak jauh harus melakukan uzlah tapabrata agar dikaruniai
oleh Hyang Iahiyyah sebuah ilmu bashirah telepati untuk dapat bercakap dengan
kolega dari jarak yang jauh. Namun kini cukup dengan media layar sakti tersebut
ilmu telepati akan mudah untuk digunakan oleh seseorang secara instan.”. Kata
Petruk kembali menjelaskan mustika Gareng.
“Bukankah
itu hal yang luar biasa dalam sebuah kemajuan umat manusia ?”, tanya Hanoman.
“
Engkau salah, telepati instan meskipun sekilas terlihat memberi kemanfaatan
namun disisi lain juga memberikan sentuan buruk bagi perkembangan jagat
kemanusiaan. Ilmu Telepati yang didapat dengan cara instan tanpa melalui riyadhah
tapabrata tentu akan lebih rentan terpengaruh dengan penyakit hasutan sebagai konsekuensi
pengamalan keinstanan”.
***
“
Lupakan tentang basa-basi ini Hanoman, ceritakan kembali tentang apa yang
engkau ketahui tentang Imantaka serta keeksistensian taji pohon beringin tua
ini. Katamu engkau sudah lama menjadi intel dadakan yang biasa blusukan ke
gang-gang”, Petruk beropini.
“
Seperti yang kau renungkan tadi, pohon beringin tua ini sebenarnya bukanlah
sebuah pohon beringin biasa yang pelengkap untuk menghijaukan jagat madyapada.
Bukan pula sebuah hiasan mata yang kerap digunakan oleh generasi jaman now
sebagai latar belakang background untuk berfoto selfi, kemudian foto tersebut
diupload ke jagat maya dengan penambahan kata puitis hasil ijtihad, dengan
mengaharpkan imbalan pengakuan akan narsisme yang dilakuka dibalik simbol bertuah
pohon beringin penjaga Imantaka”. Papar Hanoman mencoba menjelaskan.
“Aku
juga berfikir demikian, tatkala aku bersandar di pohon beringin ini aku
merasakan aura luar biasa hingga menusuk indra penciumanku yang memang
sensitif"
“Aura itu bukan berasal dari rintihan pohon beringin melainkan dari bau badan
dariku yang memang sudah tiga hari belum mandi. Aku belum mandi tapi aku masih
cantik juga.” Cetus sosok wanara putih tersebut.
Mendengar
jawaban si wanara putih, petruk kesal bukan kepalang atas surprise yang telah
didapatkannya.
“Dasar aura itu ternyata datang dari bau tubuhmu. Pantas indra
penciumanku serasa tak asing dengan aura tersebut”.
***
Wanara
putih pun kembali meluruskan, “ sudah
biar ku lanjutkan presentasi hasil pengamatanku dari objek penelitian di
negeri Imantaka. Engkau tahu mengapa aku bersembunyi di balik rimbunan kanopi
pohon beringin ?”, cetus wanara putih.
Petruk
pun geleng-geleg kepala mendengar argumentasi Hanoman wanara putih. Ia juga
semakin wegah dengan basa-basi yang tiada ada hentinya. Seketika itu pula
Hanoman melanjutkan dialeknya. “ Karena memang penghuni Imantaka kini
memandangku sebagai hewan yang harus serta merta dibinasakan, diperkusi tiada
henti, dan dicap sebagai kriminal yang harus menetap dijeruji besi tanpa peduli
klarifikasi”.
“
Bukankah engkau memang seorang wanara hanoman ?”, kata petruk melakukan umpan
balik terhadap opini si wanara putih.
“
Bukan, aku bukanlah hewan. Mana ada hewan yang dapat berbicara, menulis tentang
aneka dialeka tentang aneka pengalaman yang dijumpa”.
“Mungkin
tindakan persekusi mereka juga imbas dari tindakan jahil engkau seperti mencuri
beras petani jelata hingga pemerintah pun mendatangkan beras impor. Atau imbas
dari tingkah lakumu yang kerap menggoda perawan-perawan Imantaka dengan bujuk
tipu kata”. Petruk mencoba menyerang si wanara putih.
“Semua
bermula dari dogma kaum elit Imantaka yang melabeli daku sebagai seorang yang
hendak melakukan makar terhadap pemerintah yang berdaulat. Padahal tindakan
yang ku perbuat hanya mencabut sebuah poster salah satu kaum elit yang menempel
pada pohon beringin ini, hanya karena niatku untuk menyelamatkan sarang semut
yang terjebak dalam perekat poster-poster kaum elit tersebut. Toh mereka acuh
terhadap klarifikasi pribadi yang hendak ku kata. Hasilnya pun aku memutuskan
untuk menyembunyikan diri diatas kebijaksanaan pohon beringin tua ini.”
Petruk
tersentak mendengar penjelasan wanara putih, “Ternyata pengaruh sihir
globalisasi sudah sampai menjangkit negeri Imantaka. Begitu parahkah pengaruhnya
sampai negeri luhur yang dipenuhi kepercayaan pada nilai kemanusiaan rahmatal
lil alamin berganti menjadi negeri idealis tertutup yang cenderung memanjakan
diri dengan nilai kemanusiaan yang hanya diperuntukan untuk kalangan mereka
saja”.
“Mungkin
saja dibalik etnosentrisme Imantaka tersirat sebuah pesan politik untuk
melancarkan misi khusus menyambut sayembara politik yang akan berlangsung dalam
waktu dekat ini”. Kata Hanoman.
Mendengar
pembicaraan sayembara politik Petruk pun semakin serius bercakap tentang
dialeka, “ Sayembara politik memang-benar menggiurkan dan menggoda semua pihak.
Mulai ksatria baja hitam, kepala partai pasaran, hingga rakyat jelata yang
mencoba mengambil momentum untuk mendapatkan cipratan pesangon dari penggiat
sayembara politk”.
***
“Seberapa
nikmatkah sayembara politik, hingga banyak pihak saling sikut berebut kursi
pemenang hingga tak jarang terjadi serangan blackcampign besar-besaran atau
bahkan hoax yang tak karuan dan serangan jalur bokong lainnya”, kata Hanoman
berargumentasi.
“Engkau
ini bangsa wanara, mana mungkin engkau faham manisnya kampiun sayembara
politik. Kau lihat belum menjadi kampiun sayembara politik para elit Imantaka
sudah berani bertindak ekslusif mengunggulkan diri sebagai bangsa pilihan
tuhan. Hingga menafsirkan secara sepihak firman Sang Hyang Ilahiyyah untuk
menjustifikasi kalangan mereka sendiri, lalu memandang kelompok lain sebagai
kasta kedua. Bayangkan bagaimana nantinya jika mereka memenangi sayembara
politik dan menjadi raja dengan embel-embel rahmatal lil alamin. Tentulah
mereka akan lebih nikmat membuat kebijakan yang semakin ekslusif memanjakan
kelompok mereka. Bagaimana bukankah itu sebuah nikmat yang tak bisa didustakan.
Kelakuan mereka yang meyingkirkan lawan saingan tanpa perlawanan secara jantan
itu lebih busuk daripada perlawanan hukum rimba wanara yang dilakukan secara
adil dan jantan”, Papar Petruk panjang lebar.
“Cukup
Petruk hentikan jangan berdialeka busuk dibelakang lawan saingan. Seorang
punakawan hendaknya bertugas untuk menasehati para insan, bukan malah menebar
propaganda yang belum diketahuinya termasuk tentang apa fakta yang sebenarnya
terjadi di Imantaka, bukan opini penafsiran berdasarkan umpan balik pendapat
seseorang ”, bentak sosok wanara putih.
“ Apa
maksudmu Hanoman, apa yang sebenarnya terjadi dengan dirimu. Bukankah yang
pertama-kali membincang perihal Imantaka adalah engkau sendiri ”, Petruk
mencoba melakukan klarifikasi.
Petruk
si kantong bolong terkejut untuk kedua kalinya setelah melihat Hanoman
memancarkan sinar putih. Saat itu pula dihadapannya didapati sosok lain yang
sebenarnya merupakan sosok asli dari jelmaan Hanoman si wanara putih melalui
ajian maling rupa.
“Dewi
Ning Mustikaweni !!!”, kata Petruk terkejut seraya melempar kantong bolong yang
menutup akhir dialeka.
(Dibuat pada Jum'at, 19 Januari 2018)
----
Prev: Sayembara Politik Bagong - Next: Togog dan Kebebasannya
----
(Dibuat pada Jum'at, 19 Januari 2018)
----
Prev: Sayembara Politik Bagong - Next: Togog dan Kebebasannya
----
4 Komentar
Mantap. Request narasi Pertarungan petruk dengan pethel saktinya.
BalasHapusmasukan diterima gan. tapi pethelnya petruk belum sembuh dari pnyakit karatan. mungkin perlu disembuhkan dulu.. hehehe
HapusSelow
BalasHapusyoi lur
HapusTerima kasih atas masukan anda.