Hilangnya Orientasi: Dari Pelayan Umat Menuju Birokrat
Jati diri NU yang sesungguhnya adalah organisasi sosial keagamaan (Jam’iyyah Diniyyah Ijtima’iyyah). Kekuatan utamanya berada di ribuan sekolah, klinik, dan majelis taklim yang melayani umat di pedesaan, bukan di koridor birokrasi Jakarta. Ironisnya, ketika energi kolektif PBNU dialokasikan secara dominan untuk menjadi mitra super-aktif pemerintah, mengelola proyek, dan bahkan mengambil bagian dalam skema ekonomi negara, seperti isu izin tambang. Organisasi tersebut secara tidak sadar sedang melakukan bunuh diri institusional. NU tidak didirikan untuk menjadi kontraktor birokrasi, apalagi sekadar menjadi Perseroan Terbatas Nahdlatul Ulama (PTNU) yang berorientasi laba. NU didirikan untuk mengurus agama, pendidikan, dan kesejahteraan umat.
Fokus yang berlebihan pada program birokrasi melahirkan risiko fatal, yakni melemahnya independensi suara. Sumber daya, mulai dari waktu hingga personel terbaik, tersedot habis untuk urusan struktural dan politik high-level, sementara dana yang seharusnya dialokasikan untuk layanan masyarakat di tingkat ranting dan cabang, seperti peningkatan kualitas madrasah atau penanggulangan stunting, justru terabaikan. Inilah yang membuat pandangan bahwa NU cenderung pro-pemerintah menguat di mata publik.
Mengaktifkan Kembali Lensa Kritis dan Penyeimbang
Salah satu kontribusi historis NU terbesar bagi bangsa adalah peran sebagai kekuatan penyeimbang (critical counterbalance) yang etis. Ketika pemerintah mengambil kebijakan yang zhalim atau tidak adil, suara ulama NU harus menjadi pengingat moral yang tegas dan berbasis keagamaan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, suara kritis PBNU terasa semakin samar, seolah-olah ada tabu untuk mengkritik demi mempertahankan akses dan privilese. Kita tidak meminta NU menjadi oposisi buta. Kita menuntut NU untuk menjadi mitra kritis yang jujur.
Inilah saatnya para ulama dan intelektual muda NU bersuara lantang. NU harus mengembalikan marwahnya sebagai organisasi yang mengalirkan ide-ide segar, pemikiran tentang ekonomi syariah yang merata, pendidikan karakter berbasis pesantren, dan kebijakan keadilan sosial yang genuine bukan sekadar menerima jatah.'
Jalan keluarnya jelas: PBNU harus segera melakukan recalibrasi total. Prioritas anggaran harus dialihkan dari kegiatan elite di Jakarta ke pengembangan unit-unit khidmah di daerah. Perlu ditetapkan batas yang tegas antara hubungan organisasional dengan negara dan kepentingan ekonomi organisasi. Jangan biarkan ghirrah (semangat) berkhidmah terkontaminasi oleh ghanimah (keuntungan duniawi).
Di atas segalanya, kedaulatan Syuriyah sebagai lembaga penentu moral dan spiritual tertinggi harus dikuatkan kembali. Konflik harus diakhiri dengan menempatkan fatwa ulama, bukan manuver politisi organisasi, sebagai pedoman utama. Jika NU gagal melakukan koreksi internal yang radikal ini, maka konflik yang kita saksikan hari ini hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan panjang menuju degradasi moral dan institusional. Kekuatan NU ada pada umat, bukan pada kursi kekuasaan. Ini adalah panggilan untuk pulang ke rumah Khittah.
.jpg)

Terima kasih atas masukan anda.