Benturan dogma agama
Perlu dicatat bahwa istilah Nasionalis disini bukanlah sebuah peyekatan tentang dogma pertentangan antara hubungan Islam dengan Nasionalis. Yang berarti bahwa Islam dianggap sebagai basis pembeda dengan sub-sub Nasionalis. Seolah membincang seputar Islam harus dipisahkan dengan hal berbau Nasionalisme kenegaraan. Hal ini wajar terjadi karena memang kerap kali banyak pihak yang gagal faham antara Nasionalisme Kenegaraan dengan Nasionalisme Kebangsaan, atau hal lain seperti perbedaan bela Negara dengan bela bangsa. Apalagi jika diikutkan puzzle lain semacam istilah “negeri” tentulah akan semakin membuat otak lebih panas membedakan antar padanan kata tersebut.
Perlu dicatat bahwa istilah Nasionalis disini bukanlah sebuah peyekatan tentang dogma pertentangan antara hubungan Islam dengan Nasionalis. Yang berarti bahwa Islam dianggap sebagai basis pembeda dengan sub-sub Nasionalis. Seolah membincang seputar Islam harus dipisahkan dengan hal berbau Nasionalisme kenegaraan. Hal ini wajar terjadi karena memang kerap kali banyak pihak yang gagal faham antara Nasionalisme Kenegaraan dengan Nasionalisme Kebangsaan, atau hal lain seperti perbedaan bela Negara dengan bela bangsa. Apalagi jika diikutkan puzzle lain semacam istilah “negeri” tentulah akan semakin membuat otak lebih panas membedakan antar padanan kata tersebut.
Menurut
benak pribadi harusnya sebuah nasionalisme mempunyai wajah universal yang
menyelami tiap dogma lain yang lebih spesifik seperti Islam sendiri. Artinya
nasionalisme bukan hanya sebatas berhenti pada ruang negara atau bahkan hal
yang lebih spesifik lagi seperti pemerintah. Hasilnya setiap ada kelompok yang
mencoba mengkritisi pemerintah tak terkecuali dari penggiat Islam tentu kerap
kali dinisbatkan pada hal-hal berbau makar, lebih parah lagi anti pada NKRI.
Begitu juga dengan anggapan pada kelompok islam lain yang dekat pada pemerintah
yang kerap juga dikaitkan dengan “Anti Islam” atau dogma alat pemerintah.
Alasan
pertama yaitu mengacu pada pengertian nasionalisme menurut KBBI sendiri. Dimana
dikatakan bahwa nasionalisme yang berasal dari padanan kata “Nation” dan “-Isme”
merupakan sebuah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan
negara sendiri. Disinlah letak keuniversalan dari nasionalisme sebagai perekat aneka
perbedaan yang melintang di jagat sosial.
Istilah universal yang pribadi pakai untuk
menisbatkan perihal nasionalisme disini mempunyai arti bahwa gagasan nasionalisme
memang haruslah menyeluruh dan menyentuh semua batas-batas segi kehidupan. Mana
mungkin gagasan nasionalisme mampu sebagai menjadi “oase” untuk mencintai
bangsa dan negara, jika ternyata pemahaman nasionalisme justru dipahami bahkan
dipraktikan dalam sudut pandang sempit (spesifik). Niscaya hal tersebut akan malah
membawa dampak kemuculan “pion-pion” pembeda yang justru berpotensi menimbulkan
pemahaman ethonsentrisme dan primordialisme. Sudah tentu hal ini sangat jauh
dari tujuan sebuah gagasan tentang nasionalisme sebagai pemersatu kebangsaan.
Di era “Now” sekilas dogma nasionalisme kerap
diartikan sebagai semangat “Bela Negara”
atau padanan lain semacam “Bela Negeri” maupun “Bela Bangsa” yang sudah tidak
asing ditelinga penggiat wacana berita. Pertanyaanya bukankah ini hal yang baik
untuk digaungkan demi kesejahteraan Indonesia ?. Tepat sekali, tak ada yang
salah dari pengertian ketiga istilah diatas, ketiga istilah diatas memang mempunyai
urgensi sebagai pemompa semangat untuk mencintai Indonesia. Hanya saja di era sekarang
membincang istilah nasionalisme memang serasa kembali ke era “Old” disaat saat bangsa
tercinta kita mulai melapaki jejak sebagai bangsa yang merdeka.
Kala itu memang nasionalisme kerap disandingkan
dengan basis perlawanan ideologi Islam
yang melekat pada Founding Father semacam; Kyai Wahid Hasyim, Ki Bagus
Hadikusumo, hingga Moh. Yamin. Alasan utama adalah tersiarnya kabar bahwa gerakan
Nasionalisme yang diusung Bung Karno cs berhaluan sekuler. Apalagi bahwa Bung
Karno dalam suatu momen sebelumnya terang-terangan mengagumi sepak terjang
Musthofa Kemal Pasha sebagai revolusioner Turki, Sebagaimana diungkapkan Gus
Sholah dalam salah satu esaynya.
Karena itulah beberapa founding father semacam
Moh. Yamin malah menganggap nasionalisme sekuler sebagaimana digaungkan Bung
Karno merupakan gerakan nihilisasi ajaran Islam, melihat kerapnya Bung Karno mengatakan
tentang kekaguman pada pemikiran para tokoh asing semacam; Mahatma Gandhi, atau
Musthofa Kemal Pasha. Apalagi fenomena kontrofersi direvisinya tujuh buah kata pada
sila pertama Pancasila versi awal Piagam Djakarta semakin mematikan eksistensi
maksud nasionalisme yang terkesan sinkretisme. Beruntung Indonesia masih dikaruniai
Founding Father yang masih mengupayakan terjadinya mediasi damai hingga
terciptanya kesepakatan penerimaan redaksi “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai
ganti tujuh kata sila pertama Piagam Djakarta.
Nah, di era sekarang ntah apa yang menjadi asbab-musabab
kembalinya penyekatan pemahaman dogma nasionalisme yang kerap dibenturkan
dengan kepetingan kelompok agama. Jika diterka mungkin fanatisme identitas
menjadi penyebab utama munculnya sekat-sekat kasta. Sebagaimana fanatisme
ashobiyyah di jazirah arab kala yang memicu pertikaian antar suku dan kabilah sepertihalnya
pertikaian panjang suku ‘Aus dan Khasraj di Yastrib kala Nabi belum hijrah.
Lantas apa cukup itu saja yang menjadi pemicu munculnya sebuah penyekatan antar
identitas, bukankah sebuah fanatisme identitas jika tak disertai ethnosentrisme
dan primordial justru mampu menjadi hal postif untuk pembangunan kebudayaan
suatu kesatuan bangsa. Bukankah perbedaan merupakan sebuah hikmah atas
pemberian Sang Hyang Ilahiyyah.
Kemanusiaan sebagai pemersatu
Menurut benak pribadi alasan utama yang menyebabkan ketidak monceran identitas untuk membangun sebuah tatanan, justru malah berdebat tentang mana yang benar; antara berkiblat pada nasionalisme atau pada agama (Islam). Semata-mata karena kedua kutub memang kerap kali diartikan dalam sudut pandang spesifik alias hanya berkenaan ruang lingkup sempit. Bukankah agama Islam diturunkan sebagai rahmat semesta alam, sebagaimana arti etimologis islam berasal dari bahasa Arab “Aslama-Yuslimu-Islaman” yang artinya Kedamaian. Sebab itu pula Islam bukan hanya menitikberatkan pada hubungan seorang hamba dengan Tuhannya (Hubungan Vertikal). Melainkan juga hubungan seorang hamba dengan hambanya, dalam artian hubungan sesama mahluk Allah yang bernama “manusia” itu sendiri.
Seorang Sufi bernama Ibnu Attoillah As Syakandari pengarang kitab Al Hikam pernah
menjelaskan bahwa syarat seorang hamba bertaubat pada Allah atas dosa-dosanya
ada tiga, 1) memiliki niat kuat (azimah) untuk bertaubat, 2) Menyesal
dengan tindakannya, 3) Berjanji tidak akan mengulangi lagi. Namun Ibnu
Attoillah melengkapi argumennya dimana jika dosa seorang hamba Allah tersebut
juga ada kaitan dengan kesalahannya pada sesama (manusia). Maka orang tersebut
tidak cukup menunaikan tiga syarat sebagaimana diatas, melainkan harus
melaksanakan sebuah syarat lagi yaitu; Harus memohon kerealaan atas pihak yang
dilecehkan.
Qoul ahli sufi diatas menjustifikasikan bahwa
Islam sangat menjunjung tentang sebuah nilai kemanusiaan yang harus senantiasa
diaplikasikan dalam setiap etika berhubungan. Nah inilah yang kerap kali
terlupa oleh kalangan pejuang Islam jaman ‘Now”, dimana diantara mereka kerap
menyuarakan tentang gagasan semangat membangun Islam tetapi yang dibangun
adalah bangunan fisiknya saja. Tidak sampai mengena kepada isi dari Islam
sendiri yang mengajarkan tentang nilai kemanuisaan skala universal, bukan hanya
berlaku pada sesama penggiat Islam pula.
Disisi lain munculnya dogma nasionalisme di era
kekinian juga kerap kali terlupa akan sebuah esensi tentang apa tujuan dari
nasionalisme itu sendiri. Seiring dengan munculya kembali wacana “bela bangsa”,
“bela negara”, atau “bela negeri” sebagai basis perlawanan politik identitas
suatu kalangan yang kerap kali juga diaggap mengacam, dalam hal ini oleh
pemerintah sendiri.
Nah, disinilah sebenarnya esensi nasionalisme yang universal diperlukan. Mampu menjangkau sekat-sekat batasan heterogennya ideologi yang tersebar di jagat Indonesia. Kala nasionalisme bukan hanya sebagai alat doktrin agar mencinta bangsa dan negara melainkan juga benar-benar menjadi nasionalisme yang menyeluruh. Artinya nasionalisme yang digaung-gaungkan hendaknya bukan serta merta didasari semangat bela negara, bela negeri, bela bangsa, lebih parah lagi membela kubu pemerintah. Tetapi harus pula diserta dengan sebuah inti semangat kemanusiaan, bukan malah mengumbar nafsu laksana hewan.
Nah, disinilah sebenarnya esensi nasionalisme yang universal diperlukan. Mampu menjangkau sekat-sekat batasan heterogennya ideologi yang tersebar di jagat Indonesia. Kala nasionalisme bukan hanya sebagai alat doktrin agar mencinta bangsa dan negara melainkan juga benar-benar menjadi nasionalisme yang menyeluruh. Artinya nasionalisme yang digaung-gaungkan hendaknya bukan serta merta didasari semangat bela negara, bela negeri, bela bangsa, lebih parah lagi membela kubu pemerintah. Tetapi harus pula diserta dengan sebuah inti semangat kemanusiaan, bukan malah mengumbar nafsu laksana hewan.
Lantas bagaimana memberlakukan bagi kalangan
yang memang mempunyai ekspektasi berlebihan tentang sebuah politik identitas
untuk menjadikan identitas yang dianut sebagai identitas unggul. Pernyataan
yang terbilang sangat susah untuk dijawab dengan jawaban penyelesaian yang konkret.
Namun bukan berarti tak ada jalan penyelesaian, ibarat sebuah api siram dengan
minyak tentu akan semakin membesar.
Panasnya sebuah permaslahan atas saling mengunggulkan hendaknya pula jangan diserta dengan sikap mengumbar emosi pula. Melainkan melalui sebuah dialeka duduk bersama dengan mencoba menghilangkan sejenak egoitas pribadi, yang terpenting diserta untuk menciptakan nuasa kemanusiaan, manusia yang benar-benar manusia. Jika kebencian dilawan dengan sebuah kebencian niscaya kebencian itu akan semakin berkobar-kobar hingga memakar segala ruang kemanusiaan.
Panasnya sebuah permaslahan atas saling mengunggulkan hendaknya pula jangan diserta dengan sikap mengumbar emosi pula. Melainkan melalui sebuah dialeka duduk bersama dengan mencoba menghilangkan sejenak egoitas pribadi, yang terpenting diserta untuk menciptakan nuasa kemanusiaan, manusia yang benar-benar manusia. Jika kebencian dilawan dengan sebuah kebencian niscaya kebencian itu akan semakin berkobar-kobar hingga memakar segala ruang kemanusiaan.
Terakhir, Mengutip perkataan pakar kebangsaan
Yudi Latif dalam bukunya berjudul “Negara Paripurna” bahwa sila kelima
Pancasila; “Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”berperan sebagai tolak ukur parameter
kesuksesan mengilhami keempat sila sebelumya. jadi keempat sila sebelumnya
diuji efektifitasnya pada efektifitas sila kelima. Alhasil sebuah upaya sebuah nilai
keadilan disegala asepek hendaknya juga haruslah terus diasah demi terciptanya kedamaian
sosial.
Benak pribadi sepenuhnya meyakini bahwa huru-hara fanatisme identitas dengan efek menghambur kebencian bukan serta merta kefanatikan tetapi ada sebuah sumbu pengirim api, yang tiada lain adalah perasaan ketidakrelaan atas pemberlakuan sebuah keadilan disegala aspek. Disinilah sebenarnya pekerjaan rumah bagi para kaum elit istana tak terkecuali kita semua untuk benar bersungguh-sungguh mencoba untuk menegakkan setitik demi setitik sebuah nilai keadilan, tentu saja keadilan yang benar-benar universal untuk memaslahatan kemanusiaan.
Benak pribadi sepenuhnya meyakini bahwa huru-hara fanatisme identitas dengan efek menghambur kebencian bukan serta merta kefanatikan tetapi ada sebuah sumbu pengirim api, yang tiada lain adalah perasaan ketidakrelaan atas pemberlakuan sebuah keadilan disegala aspek. Disinilah sebenarnya pekerjaan rumah bagi para kaum elit istana tak terkecuali kita semua untuk benar bersungguh-sungguh mencoba untuk menegakkan setitik demi setitik sebuah nilai keadilan, tentu saja keadilan yang benar-benar universal untuk memaslahatan kemanusiaan.
Salam kemanuisaan ..!!
0 Komentar
Terima kasih atas masukan anda.