-->

Renungan Hikmah 132–133: Ibadah Tanpa Menagih Balasan

Rizal Nanda Maghfiroh
0

 

Makna yang ingin disampaikan sederhana namun dalam: Ibadah sejati lahir dari kehormatan kita kepada Allah, bukan dari keinginan mendapatkan


Syekh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari dalam Hikmah ke-132 pernah menyinggung satu hal penting: "Ketika seseorang beribadah namun berharap imbalan, maka ia sedang menuntut dirinya sendiri untuk tampil sempurna dan benar-benar tulus. Bahkan, hambatan hati yang paling ringan pun cukup menjadi tanda bahwa ia belum sepenuhnya percaya pada kemurahan Allah"


Makna yang ingin disampaikan sederhana namun dalam: Ibadah sejati lahir dari kehormatan kita kepada Allah, bukan dari keinginan mendapatkan sesuatu.

Bayangkan seorang santri yang mencium tangan gurunya. Ia melakukannya semata-mata karena memuliakan sang kiai, bukan lantaran menunggu hadiah atau balasan. Begitulah gambaran ibadah yang murni , dilakukan karena Allah memang layak diagungkan, bukan karena kita menunggu sesuatu kembali.


Jika dalam ibadah kita masih menyelipkan harapan pamrih, itu menunjukkan dua kemungkinan:

1. Kita belum sepenuhnya yakin bahwa Allah pasti membalas setiap amal baik.

2. Kita sebenarnya sedang memenuhi nafsu diri sendiri, bukan mengagungkan Allah.


Padahal, Allah telah berjanji bahwa setiap amal kebaikan pasti dibalas, meski hamba itu tidak pernah memintanya: "Sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan.”


Bahkan, bagi siapa pun yang membawa kebaikan, Allah melipatgandakannya sepuluh kali lipat. Demikian pula shalawat: sekali membaca dibalas rahmat sepuluh kali. Sepuluh shalawat dibalas seratus rahmat. Seratus shalawat dibalas seribu rahmat. Rahmat itu bisa hadir dalam rupa kemudahan hidup, kelancaran urusan, atau terbukanya jalan yang sebelumnya buntu.


Ada kisah dari Kiai Mahrus Lirboyo. Beliau sering menunjukkan bangunan baru di pesantrennya. Saat ditanya dari mana sumber dananya, beliau menjawab santai, “Tujuh ratus ribu shalawat.” Artinya, keberkahan yang mengalir dari shalawat itulah yang memudahkan pembangunan.


Abah Yai Djamaludin Ahmad pun memiliki kebiasaan membaca wirid tertentu ketika memulai pembangunan. Batu-batu kecil yang sudah diberi bacaan diletakkan di pondasi bangunan sebagai bentuk permohonan pertolongan kepada Allah. Selama proses itu, pembangunan tak pernah terhenti  sebagai isyarat adanya “imdad”, atau bantuan ilahiah.


Sedekah pun demikian. Secara hitungan dunia, memberi memang mengurangi harta. Tetapi Rasulullah bersumpah bahwa harta tidak pernah berkurang karena sedekah, bahkan sebaliknya: Allah menambahkannya dalam bentuk yang tampak ataupun tersembunyi.


Ada kisah Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah. Ketika Fatimah sakit dan menginginkan buah delima, Ali berusaha mencarinya meski harus berhutang satu dirham. Saat ia mendapatkan satu buah delima, ia justru memberikannya kepada seorang lelaki tua yang sedang kesusahan. Fatimah yang diberi pengetahuan oleh Allah mengetahui perbuatan suaminya itu, dan sebelum delima itu sampai ke rumah, ia sudah sembuh. Tak lama, Salman Al-Farisi datang membawa sekeranjang delima hadiah dari Allah melalui Rasulullah. Semuanya berjumlah sembilan satu kurang karena Salman ingin menguji kemuliaan hati Ali.


Kisah ini menggambarkan bahwa balasan dari Allah bisa datang dengan cara yang tidak terduga, sebagai pertolongan, keluasan hati, atau keberkahan.


Bahkan orang yang bukan muslim pun, jika melakukan kebaikan seperti kejujuran atau menepati janji, tetap diberi balasan di dunia berupa kemudahan usaha dan kelapangan rezeki. Namun di akhirat, balasan mereka terhenti karena tidak disertai iman


(Dicuplik dari hasil pengajian Al Hikam KH. mohammad Idris Djamaluddin Ahmad 04 November 2025, penulis mendengarkan livestreaming) 

  • Lebih baru

    Renungan Hikmah 132–133: Ibadah Tanpa Menagih Balasan

Posting Komentar

0 Komentar

Terima kasih atas masukan anda.

Posting Komentar (0)