Angin Kamulyan
Sore
kala ini kembali berteman dengan kopi di kedai warung langganan depan
kecamatan. Bukan soal rasa kopi racikan untuk dihidangkan melainkan nuansa
sepoi-sepoi angin menerpa rimbunan dedaunan didepan kedai, itulah yang membuat
nuansa semakin menggoda untuk sejenak bernostalgia dengan kehidupan. Kehidupan
yang penuh akan tuntutan kebutuhan akan eksistensi diri ditengah lautan
kemanusiaan. Datangnya angin melambaikan dedauan menghadirkan kenyamanan
kesendirian, menafikan diri dari godaan keduniawiaan yang tiada henti. Meskipun
sebenarnya godaan si kopi hitam juga merupakan bagian dari lambaian akan fitrah
kemanusiaan. Penegas bahwa seorang insan merupakan sebuah pecahan puzzle
kehidupan yang harus dirangkai dalam satu kesatuan kebersamaan.
Ingin
rasanya seperti “angin” yang memang ditakdirkan untuk menggerakkan segala
kehidupan, menjadi media sakti penopang sendi segala lini akan eksistensi yang
dimiliki. Toh keeksistensian gerombolan angin tak merubah stigma akan betapa ikhlasnya
sebuah angin dalam melakukan sebuah pengabdian menggerakkan kehidupan. Bahwa
tak harus menampakkan diri dalam wujud nyata atau berada di garda utama untuk
dapat mengorbitkan diri bergeliat mengabdi menunjukkan taji eksistensi. Bukannya
mengajak untuk bergila ria memetaforakan kehidupan dengan sebuah angin yang
katanya tak punya nyawa. Tak punya nyawa katamu, bukankah segala unsur
kehidupan adalah mahluk yang diberi nyawa oleh Sang Hyang Ilahiyyah Nan
Tertunggal ?.
Bagaimana
mungkin tak punya nyawa kalau nyatanya angin dan tiga elemen lainya (Tanah,
Api, Air) mampu menujukkan eksistensinya. Bukankah hanya sebuah nyawa yang
mampu menunjukkan sebuah taji eksistensi akan energi ?. Analogi sederhana ini
serasa mengafirmasikan bahwa alam memang memang dikaruniai sebuah “nyawa”
oleh-Nya dan diperintahkan oleh-Nya pula untuk menunjukkan eksistensi sesuai job
description yang di mandatkan oleh Sang Pencipta. Lantas mengapa silih
berganti terjadi ketidakharmonisan sebuah eksistensi dari unsur alam seperti; terjangan
badai Topan (Angin), Longsor (Tanah), Gunung meletus (Api), hingga banjir (Air).
Sudah pasti itu memang penegas bahwa alam telah merajuk berontak mungkin gegara
tuannya yang terlalu menekan rincian siklus job description hingga
sebabkan berubahnya mainsite dari alam menyesuaikan kondisi dari majikan,
Wallahu a’lam tentunya.
Desember
Merindu
Nyiur
dedaunan tertimpa sentuan angin di sore hari berlanjut dengan gemuruh runtuhan
air dari tiang langit membasahi bumi di penghujung bulan November. Menyambut datangnya bulan pamungkas Desember yang
kerap kali dijuluki orang jawa sebagai bulan “Gedhe-Gedhene Sumber”, sesuai kondisi
realitas kerap datangnya guyuran hujan berlomba memberikan sentuan pada si bumi
sebagai perpisahan akan berakhirnya sebuah era tahunan. Meskipun sentuan
menjelang bulan terakhir yang diberikan kerap kali berupa kado pahit kehidupan,
ntah Tsunami Aceh 2004, Guyuran Banjir di segala ruang kota, gertakan tanah
longsor hingga Gunung Agung Meletus beberapa
waktu kemarin.
Meskipun
pasca serbuan hujan dipenghujung November tahun ini tak disambut si pelangi
yang menyejukkan hati melalui gertakan keelokan warna-warni. Tetapi tak
mengurangi menawannya penghujung November, seiring bertepatan perayaan hari
kelahiran insan agung Nabi Semesta Alam Muhammad Saw, tepat pada dua belas
rabiul awal (maulud) yang akan hadir kala Desember merindu. Alhasil Gembruduk
ucapan selamat hari maulud pada Nabi Akhirus Zaman pun membanjiri berbagai penjuru
jagat maya yang sempat terekam ditengah bermesra dengan kopi pahit di atas meja.
Ada pula kalangan yang membela dogma
mauludan dengan berbagai komentar pedas manis tentang anggapan negatif bahwa
maulud adalah tradisi bid’ah yang tak sesuai syari’at Islam.
Ditengah
meneguk kopi hitam yang sudah dingin, Ingin rasanya ikut-ikutan membuat rubik
komentar seputar perayaan Maulud Nabi di awal Desember seperti yang dilakukan para
jihadis jagat virtual. Ntah itu memujanggakan diri dengan lantunan kata mesra syair puisi laksana Arya
Dwipangga dalam serial Tutur Tinular, membuat desain kolase asma suci Nabi, atau
bahkan menuangkan dialeka sepak terjang perjuangan Nabi Saw yang didapat dengan
perjuangan luar biasa, dimana jika dibuat sebuah drama sudah pasti melebihi
supernya cerita perjuangan Arya Kamandanu dalam serial Tutur Tinular ciptaan S.
Tijab yang akan berakhir malam nanti dengan tewasnya si pemberontak Ra Kuti
oleh Gajah Mada.
Tetapi
alih-alih membuat sebuah rangakaian
kata-kata keistimewaan Sang Nabi. Otak saja masih buntu untuk mencari diksi apa
yang pantas untuk dipilih melantunkan kata-kata istimewa terkait perjuangan
Nabi Saw. Bukannya apatis tidak tahu menahu tentang sejarah perjuangan Nabi
sejak kelahiran hingga kembali berpulang ke rumah Sang Maha Esa, sebagai alumni
Madrasah Ibtidaiyyah pribadi tentu sedikit hafal dengan sejarah dan romantika Nabi
gegara seringkali menerima hukuman berupa gelintiran kuping dari
Sang Guru mapel tatkala tak menjawab dengan benar tentang pertanyaan
seputar sirrah nabawiyyah yang telah diajarkan kepada kami. Hanya saja untuk
membuat rubik spesial tentang perihal Nabi otak masih belum bisa diajak
kompromi untuk memilih topik yang pantas untuk mewakili semangat hati tentang
kekaguman pada sosok Nabi Muhammad Saw. Bukan hanya efek satu minggu yang tak bersua
dengan melatih keterampilan merangkai kata melalui diksi sederhana, namun juga
karena sukarnya memilah diksi dan alur pembicaraan tentang Nabi akhir zaman
yang sarat tanpa cela.
Perjuangan
dan keteladanan yang diajarkan dari Nabi Saw begitu luar biasa hingga tak ada
kata lagi yang patut diutarakan kecuali “sempurna”. Inilah alasan mengapa
pribadi sulit mengutarakan kehebatan perjuangan Nabi Muhammad Saw, karena
memang beliau sangat sempurna untuk ukuran mahluk semesta alam. Sejak
dilahirkan Sang Baginda telah mengajarkan arti kesabaran menjalankan roda
kehidupan tanpa keputusasaan walau silih berganti ditinggal oleh para pengasuh
terkasih. Belum lagi perjuangan mendakwakan nilai keilahiyahan suci yang begitu
liar perjuangannya. Mulai dakwah bi sirri di awal kenabiaan, dakwah
terang-terangan hingga sebabkan diembargonya Bani Hasyim oleh kaum Quraisy, atau
kisah manis perjuangan mendirikan negara Madinah yang begitu kokoh akan nilai
persatuan agama dan bangsa dengan semangat kepahlawanan membela tanah air dari
rongrongan kaum pemberontak. Belum lagi sudut pandang melankolis Nabi dalam
romantika menebar pesona kasih sayang suci pada para istri terkasih. Tentulah
sangat sulit untuk membincang tema mana yang akan dipilih untuk diuraikan dalam
kata-kata bebas gegara sangat sempurnanya sosok Nabi Muhammad Saw akan sebuah
keteladanan disegala rana kehidupan. Hingga sebabkan kebingungan akan rana mana
yang akan dikaji secara lepas dengan kebebasan kreasi nalar buah pemikiran oleh
insan awam yang memang nihil keilmuan keislaman. Rasanya mungkin setara atau
bahkan melebihi memilah diksi perangkaian kata-kata pujaan oleh Jaka Tarup yang
dilanda kekaguman pada bidadari kahyangan yang jatuh menimpa bumi, lantunan syair
puisi Arya Dwipangga pada keelokan Nari Ratih, atau bahkan penggalan rayuan Nala
Gareng untuk mengambil hati Dewi Ning Mustikaweni dalam pewayangan.
Hingga
habisnya segelas kopi dingin sampai menyisahkan ampas berogolan keletek,
pun belum menemukan rangkaian diksi mana yang akan diutarakan terhadap sebuah sudut
pandang tema menyambut hari kelahiran Sang Baginda Rasulullah Saw di awal bulan
Desember. Sebuah bulan yang juga menjadi saksi akan perjuangan awal dari
pribadi sendiri menapaki jejak langkah kaki . Rasanya serasa meneyelami nuansa surah
Kahfi ayat 109 dalam sudut pandang penggiat kopi. “ Sekiranya larutan kopi
menjadi tinta untuk menulis kekaguman akan perjuangan dan keteladanan Sang
Baginda, sungguh habislah larutan kopi itu sebelum habis tertulis akhir dari
sebuah diksi sederhana, meskipun didatangkan pula bercawan-cawan larutan kopi
di atas meja”.
Allahumma Sholi 'Ala Sayyidina Muhammad ..
Allahumma Sholi 'Ala Sayyidina Muhammad ..
Rizal Nanda M
---
Sambeng,
Lamongan – 30 Nov - 01 Des 2017
0 Komentar
Terima kasih atas masukan anda.