![]() |
| Patung Yesus Kristus yang dirusak Suliyono
Sumber Gambar: Kumparan
|
Agama
kembali menjadi bubur, menjadi santapan empuk perbincangan media pemberitaan. Hasilnya
berbagai media berita pun merlontarkan sebuah topik yang tak asing bagi
warganet, apalagi kalau bukan kekerasan pada agama. Meski sebenarnya penggunaan
istilah kekerasan pada agama terbilang kurang tepat, seharusnya direvisi dengan
redaksi umat beragama atau institusi agama. Mengingat tindak kekerasan tersebut
jelas-jelas ditunjukan pada subyek pelaku agama bukan pada si objek alias agama
itu sendiri.
Memang
bukan menjadi sebuah rahasia di negeri ini bahwa isu Agama kerap dipolitikisasi
berdasar dogma idealisme pribadi. Lebih parah lagi terciptanya eklusifisme
idealisme pemahaman agama yang dihayati. Hasilnya pemberlakukan “Other” sebagai
musuh yang harus dilawan menjadi harga mati sebuah peelekatan dalam diri
beberapa kalangan, efek penyelaman eklusifisme sebuah doktrin dari tindakan
radikalis mutlaq.
Hingga
bulan Februari di tahun ini saja tercatat sudah empat kasus besar tindak
kekerasan pada tokoh Agama. Mulai dari kasus penganiyaan KH Umar Basri Pengasuh
Ponpes Al Hidaah Cikalengka yang hendak sholat Shubuh, pembunuhan Ustad Prawoto
Komandan Briade PP Persis, Perskusi Biksu Mulyanto Nurhakim di Tangerang, dan terakhir
minggu lalu (11/02/2018) terkait penyerangan pada Gereja Santa litwina, sleman,
Yogyakarta. Akhibat penyerangan tersebut beberapa jama’at beserta Pastor Karl
Edmund Prier pun harus menjadi tumbal serangan tersebut. Tak hanya itu Patung
Yesus Kristus dan Bunda Maria pun rusak parah dibagian kepala gegara aksi bejat
Suliyono.
Uniknya
menurut pemberitaan identitas tersangka penyerangan tersebut bukan berasal dari
produk lokal Yogyakarta, melainkan seorang pemuda bernama Suliyono dari Banyuwangi
Jawa Timur yang belum genap seminggu berada di Yogyakarta. Menurut paparan harian
Jawa Pos (12/02/2018) bahkan dipaparkan bahwa latar belakang Suliyono yang
berasal dari lingkungan yang menjunjung tinggi keberagaman dengan tiga bangunan
suci; Masjid, Pura, dan Gereja yang lokasinya berdekatan.
Menurut
pengakuan ayahnya Suliyono sebagaimana juga dipaparkan dalam Jawapos tersebut,
berubahnya perilaku Suliyono yang menjurus pada tindakan eklusifisme pemahaman dimulai
sejak dirinya merantau ke Sulawesi. Sejak saat itu pula tindakan Suliyono kerap
dibumbui eklusifisme ideologi Islam yang mengarah pada pembahasan formalisasi kenegaraan.
Terkait
dengan teror tersebut Abdul Muth’i sebagaimana dipaparkan dalam salah satu
stasiun TV swasta mengatakan bahwa bentuk teror kekerasan pada institusi agama yang
dilakukan oleh orang-orang bertanggung jawab itu tidaklah spontan. Tentu ada
upaya sistematis yang menggerakkan kejadian tersebut.
Disinilah
pribadi berasumsi bahwa tindakan kekerasan Suliyono di Gereja jelas ada sebuah api
penyulut. Apalagi menurut orang tua Suliyono dikatakan bahwa putranya pernah
merantau ke daerah Sulawesi yang notabenya merupakan daerah favorit para kaum
ekstrimis yang berafiliasi dengan pemberontak lintas batas.
Dengan
kata lain perlulah sebuah upaya pengorekan menedalam secara lebih lanjut terkhusus
oleh pemangku hukum terkait berbagai runtutan kasus kekerasan pada penganut agama.
Tak terkecuali pula dengan kasus kekerasan terkini yang terjadi di Sleman
Yogyakarta sebagaimana diatas. Jangan sampai pengungkapan kasus tindak
anarkisme institusi agama hanya berjalan pada kejadian terkini saja. Tentu saja
upaya ini diperlukan sebagai sebuah alternatif solusi mencari benang merah
runtutan kasus kekerasan atas nama institusi agama.
Sebagaimana
perkataan Abdul Muth’i selaku Sekretaris PP Muhammadiyah dalam acara yang sama.
Bahwa ia berasumsi bahwa tujuan pelaku penyerangan dan tindak anarkisme
institusi agama adalah untuk membuat pemerintah carut marut dan sibuk meredam
gejolak teror yang menghantui masyarakat.
Nah,
disinilah yang penulis khawatirkan pula bahwa serangkaian teror tersebut adalah
sebuah umpan saja. Asumsi pribadi adalah agar negara beserta stakeholder penegak
hukum akan termakan umpan yang dibuat oleh si dalang. Sehingga ketika umpan
sudah dimakan, si dalang siap memulai gebrakan baru yang lebih berpotensi
menimbulkan aksi kekacauan lagi yang berpotensi menyebabkan ketimpangan dalam
sebuah tatanan masyarakat. Tentu tujuan akhirnya adalah merong-rong kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Apalagi
bangsa Indonsia akan menyongsong “Sayembara Politik daerah” di pertengahan
tahun nanti yang akan berlanjut dengan dua tahun ke depan dengan badan
Legislatif dan Eksekutif yang menjadi sasaran politik. Tentulah jangan sampai hajatan
besar negeri kita ini nantinya akan menjurus dengan sebuah aksi-aksi bercorak
tindak radikal mutlaq seperti halnya yang terjadi di Mesir, Turki, Libia, dan daerah
timur tengah lainnya.
Karena
itu pula upaya pencarian siapa “dalang” dan motif dari runtutan aksi kekerasan
tersebut merupakan harga mutlaq yang harus dikorek oleh institusi yang terlibat
dalam rana tersebut. Meski sebenarnya hal yang tak kalah penting adalah kontribusi
masyarakat dalam mengkontribusikan diri aktif terlibat dalam keamanan lingkungan,
termasuk berkomunikasi intensif dengan penegak hukum dalam apabila menemukan
fakta lapangan yang berpotensi menimbulkan tindak anarki.
.jpg)

Terima kasih atas masukan anda.