Memang
tak dibisa ditepis bahwa perkembangan peradaban masa kini telah memasuki babak
baru yang tak terbatasi ruang dan waktu. Dengan kata lain pada akhirnya hadir sebuah
fenomena global village (kampung besar) sebagai sebuah peradaban sosial
baru melalui interaksi dan komunikasi yang terjalin dalam dimensi virtual. Hingga
berlanjut pula pada dua sisi efek yang ditimbulkan dari fenomena global
village ala virtual, dalam hal ini sisi positif yang dapat digunakan untuk
mengembangkan eksisitensi diri atau bahkan sisi negatif yang justru kerap
bersifat destroyer hingga sebabkan disintergrasi dalam segala lini.
Dengan demikian media virtual memang memegang peranan penting dalam perkembangan sebuah realitas tatanan kehidupan. Dalam artian bahwa gejolak dunia virtual mempunyai pengaruh besar dalam sebuah proses kehidupan nyata, apalagi masyarakat Indonesia memang dikenal sebagai penikmat utama layanan virtual, tentulah sebuah isu berita atau bahkan propaganda akan dengan mudah mengkonstruks paradigma pola pikir para penikmat dunia virtual. Hingga sebabkan pengaplikasian paradigma hasil serapan tersebut pada realitas sosial nyata.
Inilah yang pada akhirnya memunculkani stilah baru “cyberwar” sebagai sebuah perang urat saraf dalam dinamika virtual, ntah hanya sebagai alat untuk mempertahankan diri dari isu-serbuaan isu murahan, atau bahkan sebagai media penghancur eksisitensi pihak-pihak tertentu yang dianggap sebagai lawan tandingan.
Dengan demikian media virtual memang memegang peranan penting dalam perkembangan sebuah realitas tatanan kehidupan. Dalam artian bahwa gejolak dunia virtual mempunyai pengaruh besar dalam sebuah proses kehidupan nyata, apalagi masyarakat Indonesia memang dikenal sebagai penikmat utama layanan virtual, tentulah sebuah isu berita atau bahkan propaganda akan dengan mudah mengkonstruks paradigma pola pikir para penikmat dunia virtual. Hingga sebabkan pengaplikasian paradigma hasil serapan tersebut pada realitas sosial nyata.
Inilah yang pada akhirnya memunculkani stilah baru “cyberwar” sebagai sebuah perang urat saraf dalam dinamika virtual, ntah hanya sebagai alat untuk mempertahankan diri dari isu-serbuaan isu murahan, atau bahkan sebagai media penghancur eksisitensi pihak-pihak tertentu yang dianggap sebagai lawan tandingan.
Berbincang
tentang cyberwar tentu tak ada hentinya untuk diperbincangkan bahkan itu
disudut-sudut kedai-kedai kopi sekalipun. Fenomena cyberwar kadang menuntut
pula beberapa beberapa stakeholder virtual untuk berkamuflase menyesuaikan diri
dengan habitat dari pihak yang dianggap lawan.
Dengan demikian pihak-pihak demikian akan mudah menghancurkan eksistensi si lawan melalui gagasan yang mersifat memecah kubu bahkan menyusupi pandangan ideologi yang diyakininya pula. Jadi tak heran jika banyak beberapa akun-akun media sosial hingga situs-situs yang mengaku sebagai penggiat paradigma
Dengan demikian pihak-pihak demikian akan mudah menghancurkan eksistensi si lawan melalui gagasan yang mersifat memecah kubu bahkan menyusupi pandangan ideologi yang diyakininya pula. Jadi tak heran jika banyak beberapa akun-akun media sosial hingga situs-situs yang mengaku sebagai penggiat paradigma
Nahdlatul
‘Ulama sebagai salah satu garda depan membela panji suci agama Islam dan panji
sakti negara Indonesia pun tak lepas dari santapan beberapa lawan “Cyberwar”,
ntah itu dari perseorangan atau justru persekutuan yang terorganisir. Banyak
pula beberapa media virtual yang bermunculan menghasut dan menyebar isu-isu
murahan tentang para tokoh terkemuka Nahdliyyin.
Diantaranya pula banyak pula yang mengaku sebagai keluarga Nahdliyyin namun praktik aplikatif gagasan yang ditawarkannya justu kerap berbeda dengan paradigma moderat ala Nahdliyyin. Bahkan beberapa waktu lalu juga pernah muncul sebuah komunitas kelompok virtual NUGL (NU Garis Lurus) yang memproklamirkan sebagai bagian NU yang bertujuan meluruskan garis NU menjadi organisasi yang berparadigma lurus dan nihil dari sebuah faham SEPILIS (Sekuler, Pluralis, dan Liberalis).
Bahkan tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) Ahmad Ulil Albab yang juga menantu Almukarram KH. Musthofa Bisri menyebut Kalau NU diluruskan garisnya ya jadi Wahabi, Garis NU itu lentur, Filosofinya seperti tali jagat pada logo NU.
Diantaranya pula banyak pula yang mengaku sebagai keluarga Nahdliyyin namun praktik aplikatif gagasan yang ditawarkannya justu kerap berbeda dengan paradigma moderat ala Nahdliyyin. Bahkan beberapa waktu lalu juga pernah muncul sebuah komunitas kelompok virtual NUGL (NU Garis Lurus) yang memproklamirkan sebagai bagian NU yang bertujuan meluruskan garis NU menjadi organisasi yang berparadigma lurus dan nihil dari sebuah faham SEPILIS (Sekuler, Pluralis, dan Liberalis).
Bahkan tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) Ahmad Ulil Albab yang juga menantu Almukarram KH. Musthofa Bisri menyebut Kalau NU diluruskan garisnya ya jadi Wahabi, Garis NU itu lentur, Filosofinya seperti tali jagat pada logo NU.
Kembali
ke perbincangan sebagaimana tema dipaparkan diawal. Nah, dalam geliat peradaban
virtual yang memang penuh tantangan berlipat-lipat. Para kader serta segenap
warga Nahdliyyin tentulah dituntut untuk mampu ikut andil dalam panasnya
“Cyberwar”.
Namun perlu dicacat cyberwar disini bukan berarti ikut menebar benih-benih kebencian, cacian, hingga isu murahan pada sebuah kalangan yang dianggap lawan. Akan tetapi orientasi cyberwar disini adalah sebuah proses dakwah sesuai paradigma moderat Nahdliyyin yang tentu juga sesuai dengan metode dakwah ala Rasulullah SAW ala minhajil Nubuwwah.
Namun perlu dicacat cyberwar disini bukan berarti ikut menebar benih-benih kebencian, cacian, hingga isu murahan pada sebuah kalangan yang dianggap lawan. Akan tetapi orientasi cyberwar disini adalah sebuah proses dakwah sesuai paradigma moderat Nahdliyyin yang tentu juga sesuai dengan metode dakwah ala Rasulullah SAW ala minhajil Nubuwwah.
KH.
Said Aqil Siradj selaku Ketua Tanfidziyyah PBNU beberapa bulan lalu, tepatnya
ketika memberikan mauidzah hasanah dalam agenda perayaan haul Almaghfurullah
KH. Bisri Syansuri di Ponpes Mambaul Ma’arif Denanayar Jombang (28/03/17) pernah
mengutarakan pernyataan yang cukup menarik dalam penyikapan tentang gejolak
cyberwar sebagai fenomena dunia virtual.
Sebelum mengakhiri mauidzahnya beliau pembacakan tiga metode dakwah ala Rasulullah sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an surat An Nahl: 125, dalam hal ini bil Hikmah, Bil Mauidhah Hasanah, dan terakhir bil Mujadalah.
Sebelum mengakhiri mauidzahnya beliau pembacakan tiga metode dakwah ala Rasulullah sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an surat An Nahl: 125, dalam hal ini bil Hikmah, Bil Mauidhah Hasanah, dan terakhir bil Mujadalah.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [النحل: 125]
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”
Namun
hal menarik dari perkataan Kang Said Aqil adalah penafsiran tiga metode
tersebut pada praktik berdakwah dalam geliat virtual yang juga tentu
membutuhkan metode dan strategi handal guna meraih sebuah tujuan yang
ditetapkan. Oleh ketua PBNU tersebut tiga metode dalam surat Al Nahl diatas ditafsirkan dengan tiga metode dakwah ala peradaban virtual yang wajib dilakukan oleh warga Nahdliyyin.
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَة (اي باالمدسوس)ِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ (اي باالكوكول
،باليوتوف) ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ (اي باالفيرال)ِ
Pertama;
bi Sosmed, Dalam hal ini warga Nahdliyyin harus mampu memaksimalkan media
sosial sebagai alat untuk berdakwah. Mengingat media sosial merupakan salah
satu komponen primer dalam sebuah peradaban virtual. Ntah itu dengan
menggunakan berbagai kata mutiara (Qoute) yang dapat membawa sebuah hikmah,
atau dengan berupa postingan tentang klarifikasi tentang tuduhan yang tidak
senonoh terhadap stakeholder Nahdliyyin.
Kedua;
bi Youtube dan Google, Dalam
artian Youtube sebagai media sosial berbasis audiovisual harus mampu digunakan
sebagai media dakwah kalangan Nahdliyyin guna menebar nilai-nilai luhur islam
moderat ala Ahlussunah wal Jama’ah An Nahdlyyah.
Sedang Google sebagai indeks seach engine yang menawarkan base terbesar harus mampu dimaksimalkan untuk menaikkan ratting berbagai wacana mauidzah hasanah ala warga Nahdliyyin sehingga pada akhirnya mampu mengorbitkan berbagai kajian dakwah ala Nahdliyyin dalam kasta atas pencaian indeks berbagai Seach engine.
Sedang Google sebagai indeks seach engine yang menawarkan base terbesar harus mampu dimaksimalkan untuk menaikkan ratting berbagai wacana mauidzah hasanah ala warga Nahdliyyin sehingga pada akhirnya mampu mengorbitkan berbagai kajian dakwah ala Nahdliyyin dalam kasta atas pencaian indeks berbagai Seach engine.
Ketiga;
bi Viral, memang tak bisa ditepis bahwa
viral merupakan arus penggerak perbincangan peradaban virtual. Oleh karena
itulah sebuah dakwah dalam rana virtual harus menggunakan metode viral,
maksudnya yaitu segala nilai dakwah yang akan dipublish dalam kancah virtual
haruslah semaksimal mungkin menjadi sebuah viral hingga dapat menjadi Trending
Topic perbincangan geliat peradaban virtual yang sarat nilai instan, baik
itu di berbagai media sosial atau pun di rana-rana virtual lainnya yang tak
terjamah.
Dalam
akhir mauidzah KH. Said Aqil Siradj meneruskan opininya bahwa kalau warga Nahdliyyin tidak mampu memaksimalkan tiga hal tersebut pasti akan kalah. Oleh
karena itulah para warga Nahdliyyin dituntut untuk mampu unjuk gigi dalam
kancah geliat peradaban virtual yang kerap dipenuhi bumbu-bumbu cyberwar. Tentu
dengan menggunakan pola pikir dan paradigma ala Ahlussunnah wal Jama’ah An
Nahdliyyah dalam pengaplikasiannya.
-----
Rizal Nanda Maghfiroh
Sambeng, Lamongan - 04 November 2017
0 Komentar
Terima kasih atas masukan anda.