![]() |
Gambar :Baltyra.com
|
Pendidikan
Guru-istik
Fenomena
kekerasan dalam dunia pendidikan di Indonesia seakan menjadi sebuah benalo yang
sangat sukar untuk dihilangkan. Sistem pendidikan yang diharapkan mengembang-biakan
dan menumbuhkan potensi yang membangun serta berkarakter dalam anak didik
justru malah kerap kali berbanding terbalik dengan ekspektasi yang diharapkan.
Dialek
disini bukan bermaksud mengkritisi sistem pendidikan secara kaffah sebagaiman topik
judul “Alangkah Lucunya Pendidikan Indonesia” sebagaimana diatas. Disadari
tidak bahwa pendidikan formal Indonesia yang memang megadopsi model pendidikan
warisan belanda memang kerap kali membuat peserta didik tercekoki dengan
berbagai mata pelajaran estafet dari pagi sampai siang hari. Bahkan di beberapa
sekolah formal berbasis full days school mata pelajaran diberikan hingga sore
hari, meski dalam bentuk lain seperti program pembinaan karakter atau ekstra
pengemangan bakat anak didik.
Masalahnya
disadari atau tidak bahwa pendidikan beberapa lembaga pendidikan formal memang seakan
laksana sebuah penjara dengan aturan-aturan ketat agar peserta didik tunduk
pada segala aturan yang dibuat sekolah. Memang hal tersebut terbilang urgen
sebagai salah satu alternatif untuk mengontrol dan mengawasi anak didik, selain
agar sebuah pendidikan terkesan tertib dan mendapat sebuah pengakuan nilai
akreditasi baik dalam secarik kertas.
Hasilnya
memang sangat berpengaruh, melalui pembinaan mata pelajaran secara intensif
beserta pengawasan aturan-aturan ketat sebagai alat kontrol memang kerap kali
mampu melahirkan beberapa anak didik yang moncer terkait prestasi akademik,
khsusnya terkait pengetahuan kognitif atau pula ketrampilan psikomotorik. Namun
untuk membentuk anak didik yang berkarakter tentang kemampuan mengaplikasikan perihal
afektif dalam tindakan rill tentulah merupakan hal yang sangat-sangat sulit.
Apalagi pengaruh lingkungan di era sekarang sangat begitu besar yang tentunya akan
berpengaruh terhadap pola pikir anak didik.
Selama
ini pendidikan di Indonesia memang terkesan “guru-istik”, artinya segala
sesuatu yang beraitan dengan tumbuh kembang anak didik semuanya terkesan
menjadi tanggung jawab seorang pendidik. Mulai dari tolak ukur keberhasilan
anak didik menguasai materi pelajaran, kekreatifan peserta didik, bahkan
tentang perubahan perilaku peserta didik. Pendidik kerap diibaratkan sebagai
tukang sulap yang dengan trik-trik supernya mampu menyulap apa yang ada
dihadapannya. Memang guru sebagai pendidik menyandang tanggung jawab utama
sebagai seorang tauladan bagi anak didik dalam sebuah proses pendidikan.
Namun
disadari atau tidak bahwa posisi seorang guru dalam sistem pendidikan nasional
seakan hanya sekelumit waktu saja untuk berhadapan dan mengawasi anak didik, berbanding
terbalik dengan tanggung jawab besar yang diemban. Berbeda dengan lembaga
pesantren yang memang terjalin ikatan antara anak didik dengan kyai, nyai, dan masyayikh
dalam sebuah pengawasan yang sarat emosional. Nah, karena itu pula pengembangan
potensi anak didik bukan hanya menjadi tanggung jawab seorang guru tertentu,
melainkan juga seluruh stekholder pendidikan termasuk orang tua anak didik itu
sendiri.
Ketika
orang tua yang notabenenya banyak berhadapan dengan anak didik tak mampu
memberikan contoh atau mengarahkan yang baik pada anak didik, apalagi dengan
seorang guru yang nyatanya hanya berjumpa dengan anak didik pada waktu tertentu
saja sesuai jam yang diberikan sekolah. Belum lagi adanya aturan sertifikasi guru
dan aturan sejenis lain yang mengharuskan guru untuk menambah jam dikelas lain,
tentulah juga akan berdampak pula pada bertambahnya tanggungjawab seorang guru tentang
anak didik guru tersebut. Hasilnya seorang guru tentulah sangat sukar memahami
karakter anak didik yang tentu dapat mempengaruhi suatu proses pembelajaran.
Belum
lagi di era sekarang memang kepercayaan masyarakat dalam pendidikan serasa
luntur. Memang pendidikan masih dipercaya sebagai solusi jangka panjang menyelesaikan
berbagai ketimpangan bangsa alias sebagai media investasi bangsa. Hasilnya
berjuta hingga bermilyar dana pemerintah pun dialokasikan kepada bidang
pengembangan pendidikan, mulai dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Tunjangan
Sertifikasi bagi guru honorer, hingga bantuan-bantuan hibah lainnya. Namun
dipungkiri atau tidak bahwa fenomena pencatutan lembaga pendidikan masih saja
terjadi.
Jika
di jaman dulu para orang tua secara kaffah menyerahkan anak didiknya untuk
dibimbing para guru, yang artinya para orang tua merelakan diri apa-pun yang
terjadi pada si murid dalam proses pendidikan. Namun diera kekinian para orang
tua kerap kali suka cek-cok dengan pihak guru dan sekolah terkait perlakuan pada
si anak didik. Hasilnya peristiwa kriminalisasi pendidik atas dasar kekerasan anak
didik pun kerap mengiasai jagat pemberitaan, walau tindakan kekerasan tersebut
bisa dibilang sangat jauh dari tindak kekerasan seperti; mencubit murid, menjewer
telinga, menjambak rambut, atau bahkan membentak. Alasan itu pula yang akhirnya
mendorong Pergunu (Perguruan Guru Nahdlatul ‘Ulama) mendorong pemerintah untuk
membuat sebuah badan khusus “Komisi Perlindungan Guru” sebagai badan
perlindungan keprofesian guru.
Kekerasan
Pendidikan, Siapa Yang Salah
Kasus
viral meninggalnya Pak Guru Budi seorang guru Seni di Madura pada minggu ini akhibat
penganiyaan dari muridnya sendiri tentu menyentak hati banyak pihak. Apalagi tindakan
aniaya dari si anak didik hanya gegara tindakan Pak Guru Budi yang mencoret
pipi si anak didik dengan cat tatkala si anak didik tidur dikelas. Tindakan
biadab si murid ini tentu semakin mengafirmasi betapa nihilnya sebuah
pembiasaan karakter dalam dunia pendidikan Indonesia.
Sebelum
kasus meninggalnya Pak Guru Budi atas aniaya muridnya sendiri minggu lalu jagat
pendidikan juga dihebohkan dengan dua pelajar SMK di Semarang yang merampok dan
membunuh dengan keji seorang supir pengemudi taksi online. Belum lagi kasus
perkelahian antar pelajar atau bahkan kasus pembegalan yang dilakukan oleh para
pelajar, tentu fenomena tersebut semakin membuat hati geregetan dengan tindakan
biadab para calon tunas bangsa tersebut.
Hasilnya
fenomena kekerasan seakan menjadi santapan wajib dunia pendidikan; mulai dari kasus
korban Smackdown siswa SD beberapa tahun lalu hingga jenjang dunia pendidikan
di perguruan tinggi yang kerap diserta berbagai kasus pemloncoan dan
penyikasaan yang tiada henti. Itu belum tindakan asusila lain semacam perbuatan
zina yang tak jarang terjadi di penggiat dunia pendidikan. Meksipun tidak
semuanya dilakukan oleh si murid melainkan terkadang justru si guru sendiri,
seperti kasus pelecehan dan pemerkosaan opnum “Fake Teacher” terhadap muridnya
sendiri. Ntah sampai kapan dunia pendidikan Indonesia akan melahirkan para tunas-tunas
bangsa ternama seperti; Bung Karno dengan gagahnya, Srikandi Kartini, atau
cendekiawan lintas batas seperti Gusdur.
Padahal
jika dilihat sekilas pembiasaan karakter memang sangat simple; hanya bagaimana
cara seorang anak didik mampu menunaikan haknya kepada Sang Pencipta, bagaimana
cara berinteraksi dengan baik dengan antar manuisa, dan bagaimana anak didik
mampu berhubungan baik dengan alam semseta raya, bukankah itu hal yang simple untuk
dilakukan. Namun praktiknya bukan kepalang sukarnya, ntah siapa yang patut
disalahkan tentang hal tersebut.
Apakah
itu murni kesalahan dari si murid yang gagal menghayati pesan luhur yang
dimandatka padanya. Apakah itu kesalahan dari Sang Guru yang gagal menyelami
kondisi karakter dan kepribadian dari si peserta didik. Apakah itu kesalahan
pihak sekolah atas kurikulum dan aturan-aturan ketat yang memaksa si murid
untuk berontak. Apakah itu kesalahan dari para orang tua yang gagal memberikan
sentuan afeksi dan pembinaan total di rumah dan melempar semua tanggung jawab
pada si guru. Apakah itu kesalahan dari lingkungan masyarakat setempat yang
menjadi habitat mem-florkan tindakan dari si anak didik. Atau jutru itu
kesalahan pemerintah negara yang gagal atas berbagai kebijakan pendidikan yang ditawarkan
dan dipropogandakan. Atau mau menyalahkan takdir “Hitam-Putih” dari skenario
Sang Pencipta jagat semesta raya.
Jika
menuruti ego untuk saling menyalahkan antar pihak tentu tak akan habis untuk dibicarakan.
Laksana tak ada habisnya keilmuan Allah SWT apabila ditulis dalam lembaran
samudra walau didatangkan beribu-ribu hingga bermilyar samudra. Hanya ada dua
penggal kata yang tentu sebagai solusi dari berbagai penyimpangan dalam dunia
pendidikan, “Revolusi Pendidikan”. Meski sampai kini redaksi tersebut masih
mengganjal benak pribadi untuk memberi solusi konkret mulai dari mana proses
revolusi tersebut didahulukan, berfikir bersama seraya mengintegrasikan sesama penggiat
stekholder pendidikan.
0 Komentar
Terima kasih atas masukan anda.