![]() |
Sumber Gambar: nu.or.id |
Sebenarya
tulisan lepas ini adalah salah satu hasil pencerahan dari perbincangan diskusi
bebas dengan salah satu teman “ngopi” dari satu almamater pesantren penulis.
Setelah hampir tiga jam membincang dialeka tentang pergolakan seputar isu-isu politik islam sebagai realitas sosial yang tak bisa
dielakkan. Tiba saat pula memungkasi pembicaraan perihal realitas organisasi
Nahdlatul ‘Ulama di era kekinian yang telah mengalami berbagai
pergolakan panas didalamnya. Mulai dari ketika didirikan oleh para ‘ulama, berlanjut
pergolakan orde lama Soekarno yang mematikan geliat politik islam melalui aliansi
Nasakom (Nasional, Sekuler, agama, komunis) yang dibentuk olehnya. Hingga orde
baru Soeharto yang menuntut penyeragaman, yang dipungkasi orde reformasi dengan
serba terbuka melalui gagasan demokrasi.
Diakui
atau tidak bahwa sejak runtuhnya tembok orde baru di tahun 1998, ditambah
pengaruh keterbukaan globalisasi dengan media virtual yang menyerbu berbagai
sektor kehidupan. Pada ahkirnya menawarkan berbagai macam produk hasil
pemikiran, ntah itu hasil produksi pemikiran dalam negeri yang membawa stempel
SNI, atau justru merupakan permakan dari budaya imporan yang melebur bak “salad
bowl” hingga memunculkan sebuah budaya baru.
Nah,
karena itu beragam pemikiran tentang pengilhaman ajaran Islam yang muncul
menghiasi jagat peradaban kekinian. Fenomena tersebut merupakan salah satu dari
resiko terbukanya kran demokrasi yang pada akhirnya memuncratkan berbagai
ide-ide pembaharu yang sempat menyumpal di orde baru. Sebut saja dogma popular seperti;
Islam radikalis, Islam liberalis, pluralisme, Gerakan Tarbiyyah, Khilafah
Islamiyyah, Islam nusantara, atau bahkan Islam berkemajuan.
Mersanya NU Dengan Pemerintah
Mersanya NU Dengan Pemerintah
Kembali
ke topik seputar Nahdlatul ‘Ulama sebagai organisasi masyarakat, namun perlu
dicatat penisbatan NU disini mengandung arti NU formil alias struktural bukan
berarti NU kultrural yang berarti general. Berkenaan tentang perbincangan isu politik
yang kami bincangakan. Meskipun telah mengikrarkan diri “Kembali ke Khittah”,
namun disadari atau tidak bahwa memang posisi Nahdlatul ‘Ulama di era kekinian
memang tak bisa lepas dari hubungan kausalitas dengan eksekutif pemerintahan
Presiden Joko Widodo.
Pengadaan
Hari Santri Nasional yang mengacu pada resolusi Jihad pendiri NU pada tahun 22
Oktober 1945 hingga ditetapkannya berbagai tokoh NU sebagai pahlawan nasional
merupakan salah satu indikator dari
sebuah proses afiliasi politik antara NU dengan eksekutif pemerintah. Meskipun
secara formal NU memang tak pernah mengeluarkan “fatwa organisasi” tentang terciptanya
afiliasi politik, namun jika menafisrkan indikator-indikator tersebut sudah
barang tentu banyak yang menafsirkan tersiratnya afiliasi NU dengan eksekutif pemerintah.
Lantas
apa yang salah terkait fenomena tersebut. Hemat pribadi tak ada yang salah
dengan langkah beberapa petinggi NU formil yang memang kerap bersentuhan dengan
pihak eksekutif pemerintah. Toh sejak dulu NU memang tak lepas dari proses politik
kenegaraan, mulai sejak adanya partai Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia)
yang terlahir dari tubuh MIAI (Majlis Islam ala Indonesia), lahirnya partai NU
yang membelot dari tubuh Masyumi, aliansi partai islam PPP di orde baru, hingga
terbentuknya partai PKB pasca keterbuaan orde reformasi.
Hanya
saja kedekatan beberapa stekholder NU formil dengan eksekutif pemerintah pada
akhirnya berdampak pula dengan ikut terbenturnya NU dengan berbagai pihak yang
terbilang kontra dengan eksekutif pemerintah. Sebut saja salah satunya adalah organisasi
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang resmi dilarang keberadaanya atas ide
khilafah yang digadang berbagai pihak mengancam NKRI. Hasilnya bentrokan
perdebatan luar biasa pun kerap terjadi antar kubu pro dan kontra, bahkan hujatan dalam lingkup
warganet pun menjadi sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindarkan. Belum lagi
kasus perdebatan pandangan terhadap pencekalan berbagai kajian pengajian
diberbagai daerah oleh mubaligh yang digadang berafiliasi pada Hizbut Tahrir
semacam; ustadz Felix Siauw, Duo ustadz Basalamah (Khalid, Syafiq), bahkan UAS
(Ustadz Abdus Shomad) sekali pun.
Melalui
tulisan ini penulis bukan bermaksud memperkeruh keadaan antar bentrokan
perdebatan yang mewarnai berbagai organisasi masyarakat berbasis islam termasuk
perdebatan dalam kalangan Nahdlatul ‘Ulama. Hanya saja setelah berdiskusi lepas
dengan seorang teman perihal fenomena tersebut terselip sebuah keprihatinan terkhusus
bagi geliat Nahdlatul ‘Ulama sendiri. Bukan semena-mena pada keterlibatan para steholder
NU ikut terjun bermain sandiwara politik, melainkan keprihatinan ini lebih condong
pada eksistensi NU yang menyandang status sebagai organisasi dakwah.
NU Tertinggal ?
NU Tertinggal ?
Disadari
atau tidak bahwa Nahdlatul ‘Ulama sebagai salah satu organisasi moderat memang
terbilang tertinggal cukup jauh dari golongan“other” dalam hal optimalisasi
dakwah di era demokrasi virtual. Premis ini bukan asal-asalan akan penyimpulan,
lihat saja maraknya penyebaran berbagai akun media sosial atau blog dan website
yang bernuansa lebih kepada pemahaman islam eksklusif. Akun dan website berbau
islam eksklusif bahkan banyaknya kerap mengungguli kuantitas akun dan situs
yang berafiliasi dengan islam moderat.
Hal
lain yang cukup menganggu selain hal tersebut adalah nihilnya para tokoh muda
Nahdlatul ‘Ulama yang menyandang sebagai “ace” dalam geliat dakwah di era
keinian. Termasuk pula menyasar generasi muda dengan berbagai produk kontrubusi
ide-ide segar seputar isu-isu kekinian, baik berupa tulisan yang tercetak dalam
sebuah karya tulisan yang dipasarkan atau ikut aktif menyasar jagat virtual
dengan sebuah ide-ide gagasan seputar realitas sosial.
Nah,
disadari atau tidak bahwa kekurangan Nahdlatul ’Ulama adalah perihal kurangnya
optimalisasi memanfaatkan jagat virtual berkenaan seputar isu-isu realitas
sosial masyarakat kekinian. Justru dakwah media sosial di lingkungan NU kerap
disuguhi nama-nama tokoh mubaligh sepuh semacam KH. Musthofa Bisri (Gus Mus), KH. Sholahuddin Wahid (Gus Sholah), hingga KH.
Nadirsyah Hosen.
Dampaknya
justru banyak para kalangan muda-mudi kategori awam, terutama yang berstatus
tanpa afiliasi organisasi masyarakat, dimana jutsru kerap popoler di kalangan
mereka nama tokoh seperti; Ustadz Felix Siauw, atau Ustadz duo Basalamah. Coba bandingkan
dengan treck record populeritas dai muda kalangan Nahdlatul ‘Ulama, tentu terbilang
jauh perbandingannya. Rasanya memang sulit menemukan tokoh sebanding nama-nama
diatas dari kalangan Nahdlatul ‘Ulama dari kalangan sederajat, yang mampu
berperan sebagai “dai muda” dengan menawarkan ide-ide kekinian yang digandrungi
generasi xyz.
Bahkan
nama pertama (felix Siauw) terbilang menyandang sebagai salah satu dai muda
yang mempunyai followers terbanyak di jagat media sosial twitter dengan 2.621.765
pengikut. Unggul telak dari populeritas akun tokoh ternama NU semacam; Mahfud
MD (1.974.978 followers), Gus Mus (1.691.248 followers), Gus Sholah (443.794
followers), Luqman Hakim Saifuddin (400.680 Followers), NU Online (317.366
Followers), Kyai Said Aqil (247.464 Followers), Gus Helmi Faisal Zaini (122.751
Followers), hingga Gus Nadirsyah Hosen
(86.767 Followers).
Kalau
pun ada pesaingnya mungkin nama-nama yang memang tak berafiliasi dengan NU
formil semacam Ustadz Yusuf Mansyur (3.028.775 followers), Ust Abdullah Gymnastiar (2.579.010 Followers), hingga Ust Abdus shomad (1,5 m :
akun instagram) yang terkini dipenuhi berbagai kontrofersi. Jika ada tokoh dari NU itu pun mungkin hanya skala
lokal kedaerahan, dengan kerap menggiatkan hal-hal bertopik “berat” yang membutuhkan
penalaran berbasis teoritis semacam; nasionalisme, sistem bermadzhab, anti
khilafah dan lain sebagainya.
Memang alasan populer dikalangan pemerhati adalah bahwa dai NU cenderung mengurusi ummat masyarakat secara konkret. Malasahnya di era virtual sekarang ini tuntutan zaman mengkonstruksi tatanan masyarakat baru, dalam hal ini warganet yang mayoritas penggiatnya adalah generasi xyz. Nah, inilah masalahnya jika ruang virtual tak disinggung oleh stakeholder dai kalangan NU. Niscaya ruang tersebut akan terserobot oleh kalangan lain, seperti seberapa populeritas mubaligh semacam Felix Siauw cs dibeberapa media virtual.
Semoga
saja Nahdlatul ‘Ulama mampu berbenah diri mengorbitkan para tokoh mubaligh
berjiwa muda yang mampu mengeksiskan diri memberi tawaran solusi atas berbagai masalah
kekinian yang kerap melanda masyarakat generasi xyz. Bukan hanya sekedar
menebar nilai-nilai berbau teoritis yang abstrak tanpa melibatkan diri
menyusupi hati yang paling dalam dari apa yang dibutuhkan generasi xyz. Lebih parah
lagi menjadi bagian civil society yang terjebak legitimasi eksekutif birokrasi
pemerintah, hingga lupa urgensi dinamisnya berbenah menjadi civil society
sebenarnya yang mampu menjadi rujukan oase bagi generasi era xyz.
Catatan:
Data Followers akun tokoh diatas diambil per: 23/02/2018, pukul 23.00 WIB
0 Komentar
Terima kasih atas masukan anda.