Sebuah Candu
Legenda
klub Aston Villa sekaigus asisten Timnas Maroko Muthofa Hadji tahun lalu pernah
berkata bahwa sepakbola merupakan agama kedua setelah Islam. Kemudian ia
melanjutkan bahwa sepak bola adalah
sihir. Ia dapat melakukan hal-hal yang tidak dimiliki olah raga lain. Hal itu
bisa membuat Anda menangis dalam satu detik dan membuat Anda merasakan cinta
berikutnya, (10/11/2017).
Perkataan sosok yang mengantarkan Timnas Maroko
melaju ke Putaran Final Piala Dunia Rusia 2018 tersebut terbilang sangat logis
dan rasional, mengingat sepakbola seakan menjadi sebuah candu dalam sebuah
sistem sosial. Persis seperti yang dikatakan Terry Eagletton, seorang sastrawan
Marxis yang pernah menulis esai yang berjudul “Football: A Dear Friend To
Capitalism”, ia memplesetkan ucapan Karl Max dengan sebuah menyebut sepak bola
sebagai candu bagi rakyat.
Pengaruh candu sepakbola dalam sebuah sistem
sosial memang luar biasa. Lihat saja geliat sepakbola di Indonesia, realitanya
sepakbola bukan sekedar hiburan semata. Lebih dari itu sepakbola di Inodonesia menjelma
menjadi sebuah identitas budaya dari sabang sampai merauke. Hasilnya pluralisme
klub sepakbola berbasis kedaerahan yang kerap membawa nuansa rivalitas berlebih
berdasar semangat ethonesitris, dengan bumbu-bumbu bentrokan menjadi harga
mahal yang harus dibayar oleh dinamika sepakbola di Indonesia. Setidaknya hanya
ada satu perekat keberagaman aneka dari para supoeter yakni label identitas
nasional yang tertera dalam jersey Timnas Garuda saat bersua lawan tanding
Atas dasar inilah pribadi mengafirmasi pendapat
Musthofa Hadji, bahwa sepakbola mempunyai kedudukan yang sederajat dengan agama.
Dalam hal ini berperan sebagai alat untuk mempersatukan berbagai kalangan,
membentuk sebuah identitas budaya yang disakralkan, hingga mampu menjadi sebuah
boomerang jika dimanfaatkan oleh pihak terkait kepentingan pribadi yang sarat
nilai politis.
Nah, pengaruh candu yang begitu besar yang ditimbulkan
oleh sepakbola kerap kali menggugah berbagai pihak untuk ikut terlibat dalam
geliat stekholder sepakbola. Meraneka macam pihak pun berlomba menyusup dalam
dunia bola, mulai dari para politikus kepartaian, lembaga birokrasi pemerintah,
para pengusaha dan ekonom, para aparat militer dan penegak hukum, bahkan terakhir
terdengar pakar agama Yusuf Mansyur yang didaulat sebagai presiden kehormatan
klub Malang United guna menyongsong Liga 3
.
Dari aneka tokoh lintas profesi tersebut tentu
tersimpan sebuah pertanyaan, apakah keputusan mereka melibatkan diri dalam
geliat sepakbola Indonesia murni didasari semangat untuk mengembangkan kualitas
sepakbola Indonesia yang memang belum mampu unjuk gigi dalam kancah lintas
batas. Atau tersimpan sebuah misi berandaskan kepentingan pribadi dengan
falsafah “aji mumpung” terkait candu sepakbola yang melanda berbagai lapisan
masyarakat demi memuluskan sebuah tujuan pribadi. Sebuah pertanyaan yang sulit
untuk dijawab karena menebak suara hati seseorang tentu bukan hal yang mudah.
Politik Di Tubuh PSSI
Namun jika dilihat dari perkembangan geliat sepakbola
di Indonesia selama ini. Terlihat sangat jelas tentang kecacatan dalam sebuah
pengelolahan. Bukan sekedar sebuah benturan ideologi kepentingan dari aneka
idenititas kedaerahan klub sepakbola, yang memang sudah ada sejak era Liga
perserikatan dibentuk. Berbagai benturan identitas kerap juga menerpa para
birokrasi badan utama penyelenggara liga Indonesia, dalam hal ini PSSI dan
badan-badan sejawat lainnya.
Berbagai estafet kasus yang menimpa PSSI di era
millennial; mulai dari kasus korupsi yang menimpa Nurdin Halid dan Andi
Malarangeng selaku penggede stkholder bola, kasus interfensi dua konglomerat
Bakri vs Arifin Panigoro yang melahirkan dualisme liga, hingga kasus oposisi La
Nyala Mattaliti terhadap Kepemimpinan Djohar Arifin Husain sebagai ketua PSSI
yang mencoreng sepakbola Indonesia atas dualisme estafet.
Belum lagi keterlibatan Kemenpora Imam Rahrawi
yang membekukan PSSI sejak terciptanya islah antara dua kubu La Nyala dan
Djohar Arifin. Alhasil pembekuan status PSSI serta pencekalan laga resmi timnas
oleh FIFA selama kurang lebih dua tahun menjadi tumbal yang harus ditanggung
oleh sepakbola Indonesia atas pergolakan
politik dalam sepakbola.
Meskpiun sebenarnya berbincang tentang sepakbola
juga tentu tak lepas dari tindakan politik. Apalagi era profesional Liga
Indonesia pemerintah mengharamkan klub-klub menggunakan dana APBD yang menjadi
dana primer beberapa klub kedaerahan. Hasilnya tentu kelihaian sebuah strategi
politik untuk menghimpun dana-dana dari pihak luar menjadi sebuah langkah kongket
untuk menghidupi klub sepakbola.
Hal lain yang tak kalah penting untuk disinggung
dalam tulisan ini berkenaan dengan politik dan sepakbola adalah tentang
keterlibatan politik praktis fantastic four tokoh penggiat sepakbola
yang beralfiliasi dengan PSSI selaku badan utama yang bertanggungjawab perihal
perkembangan sepakbola Indonesia. Sebut saja Edy Rahmayadi (ketua PSSI) yang
mendaftarkan diri sebagai Cagub dalam Pilgub Sumatera Utara.
Ada pula sosok ketua PSSI disaat kisruh dualisme
Djohar Arifin Husain yang mendaftarkan diri sebagai calon bupati dalam Pilkada
Kabupaten Langsat Sumatera Utara. Sedangkan rivalnya La Nyalla Mattaliti yang
pernah bersentuhan dengan PSSI melalui gagasan KPSI juga terlibat dalam politik
praktis Pilkada Jatim. Meski akhirnya dirinya gagal diusung oleh Partai Gerinda
yang berlanjut dengan kontrofersi ciutan seputan mahar politik pencalonan.
Lalu diujung timur ada pula sosok politisi Partai
Golkar Nurdin Halid yang juga pernah merasakan kursi empuk ketua PSSI semasa
tahun 2003-2011. Dirinya secara resmi
diusung oleh partai Golkar beserta kolalisinya menjadi Cagub dalam Pilkada Sulawesi
Selatan.
Memang hak berpolitik praktis adalah hak setiap warga negara Indonesia termasuk pula deretan para tokoh penggede PSSI diatas. Namun disisi lain keterlibatan nama-nama tersebut dalam politik praktis tentu semakin membuat tanda-tanya dalam benak penggiat sepakbola. Mengapa para tokoh PSSI yang seharusnya mempunyai tanggungjawab moral membangun perkembangan sepakbola Indonesia justru harus memilih langkah politik praktis dalam sayembara politik serentak.
Mengapa tidak memfokuskan diri untuk membantu mengembangkan sepakbola Indonesia yang memang dipenuhi carut marut sistem hingga beranjut pada ketidak monceran prestasi Timnas Garuda. Semisal ikut membuat lembaga pembinaan intensif sepakbola teruntuk usia kanak beserta sistemnya. Atau ikut membuat relasi dengan dengan para Stekholder sepakbola skala internasional misalnya, bagaimana. (Bersambung)
Memang hak berpolitik praktis adalah hak setiap warga negara Indonesia termasuk pula deretan para tokoh penggede PSSI diatas. Namun disisi lain keterlibatan nama-nama tersebut dalam politik praktis tentu semakin membuat tanda-tanya dalam benak penggiat sepakbola. Mengapa para tokoh PSSI yang seharusnya mempunyai tanggungjawab moral membangun perkembangan sepakbola Indonesia justru harus memilih langkah politik praktis dalam sayembara politik serentak.
Mengapa tidak memfokuskan diri untuk membantu mengembangkan sepakbola Indonesia yang memang dipenuhi carut marut sistem hingga beranjut pada ketidak monceran prestasi Timnas Garuda. Semisal ikut membuat lembaga pembinaan intensif sepakbola teruntuk usia kanak beserta sistemnya. Atau ikut membuat relasi dengan dengan para Stekholder sepakbola skala internasional misalnya, bagaimana. (Bersambung)
0 Komentar
Terima kasih atas masukan anda.