Tepat
31 Januari 2018 jagat pemberitaan
dihebohkan dengan dua peristiwa besar beda sudut pandang. Pertama adalah
fenomena sosial peringatan Hari Lahir Nahdlatul ‘Ulama ke-92 yang diplot
sebagai salah satu ormas Islam terbesar di dunia yang terorganisir rapi dari jenjang
bawah jelata hingga sub-sub lintas batas negara.
Adapun yang kedua yakni fenomena alam gerhana bulan yang dianggap sebagai “BBB” (Bukan Bulan Biasa), karena memang gerhana bulan pada waktu tersebut berkolaborasi dengan dua fenomena lain. Para ilmuan perbintangan menyebut dua fenomena tersebut dengan istilah Supermoon dan Blue Blood moon. Tapi sudahlah tak perlulah diuraikan panjang lebar dengan dua istilah ilmuan sebagaimana diatas yang moncer ke permukaan perbincangan dalam dua tahun terakhir.
Adapun yang kedua yakni fenomena alam gerhana bulan yang dianggap sebagai “BBB” (Bukan Bulan Biasa), karena memang gerhana bulan pada waktu tersebut berkolaborasi dengan dua fenomena lain. Para ilmuan perbintangan menyebut dua fenomena tersebut dengan istilah Supermoon dan Blue Blood moon. Tapi sudahlah tak perlulah diuraikan panjang lebar dengan dua istilah ilmuan sebagaimana diatas yang moncer ke permukaan perbincangan dalam dua tahun terakhir.
Jaman Kawak dan Jaman Anyar
Jika
dijaman kawakan fenomena gerhana bulan kerap dinisbatkan oleh beberapa kalangan
masyarakat pada kepercayaan tentang mahluk “Buto Ijo” yang melahap rembulan.
Adapula kepercayaan lain yang menganggap gerhana terjadi karena merajuknya
sosok “nini ante” sebagai sosok penjaga rembulan. Sebab itu pula beberapa
masyarakat tempo dulu tatkala terjadi gerhana mereka beramai-ramai membuyikan
alat-alat dapur seperti wajan, lesung, panci, hingga gelas dan piring.
Tradisi tersebut diharapkan agar si mahluk yang melahap bulan kembali memuntahkan bulan dari mulutnya. Adapula mitologi yang mengaitkan gerhana dengan sebuah isyarat akan terjadi musibah besar atau pertanda wafatnya seorang tokoh besar sebagaimana yang menimpa putra Rasulullah SAW Sayyidina Ibrahim ra tatkala gerhana matahari total.
Anggapan gerhana sebagai pembawa balak
inilah yang menjadi alasan para kakek pendahulu kita mengamankan diri untuk bersembunyi di bawah ranjang atau tempat tertutup lain tatkala terjadi gerhana.
Tradisi tersebut diharapkan agar si mahluk yang melahap bulan kembali memuntahkan bulan dari mulutnya. Adapula mitologi yang mengaitkan gerhana dengan sebuah isyarat akan terjadi musibah besar atau pertanda wafatnya seorang tokoh besar sebagaimana yang menimpa putra Rasulullah SAW Sayyidina Ibrahim ra tatkala gerhana matahari total.
Anggapan gerhana sebagai pembawa balak
inilah yang menjadi alasan para kakek pendahulu kita mengamankan diri untuk bersembunyi di bawah ranjang atau tempat tertutup lain tatkala terjadi gerhana.
Meski
tradisi mitologi tersebut sudah usang mungkin saja beberapa daerah pelosok negeri
masih ada yang mengamalkan tradisi tersebut, mengingat masih banyaknya daerah
pelosok negeri yang masih menjaga tradisi nenek moyang. Didaerah pribadi kala pribadi
masih menginjak bangku pendidikan Madrasah Ibtidaiyyah bahkan masih menemui
anggapan-anggapan mitologis berkaitan dengan kekuatan yang ditimbulkan dari
sebuah gerhana.
Kala itu memang tersebar sebuah dogma anjuran bagi kalangan bertubuh pendek yang ingin cepat tinggi maka dianjurkan untuk bergelantungan diatas penyangga tiang atau pintu, katanya sih agar cepat tumbuh tinggi.
Adapula tradisi klasik saat terjadi gerhana maka diharapkan pula untuk memberitahukan perihal gerhana pada seluruh hewan ternak, seperti redaksi “Sapi, Sapi Gerhana lho” atau “Kambing, Kambing Gerhana lho”. Dulu sempat bertanya pada mendiang simbah perihal tradisi tersebut, katanya sih agar para hewan ternak tidak takut alias tidak kaget saat terjadi gerhana.
Kala itu memang tersebar sebuah dogma anjuran bagi kalangan bertubuh pendek yang ingin cepat tinggi maka dianjurkan untuk bergelantungan diatas penyangga tiang atau pintu, katanya sih agar cepat tumbuh tinggi.
Adapula tradisi klasik saat terjadi gerhana maka diharapkan pula untuk memberitahukan perihal gerhana pada seluruh hewan ternak, seperti redaksi “Sapi, Sapi Gerhana lho” atau “Kambing, Kambing Gerhana lho”. Dulu sempat bertanya pada mendiang simbah perihal tradisi tersebut, katanya sih agar para hewan ternak tidak takut alias tidak kaget saat terjadi gerhana.
Sebaliknya
dijaman Now melalui pengaruh virtualisasi besar-besaran berdasar pada fakta
sains maka perahan tradisi-tradisi jadul terpinggirkan. Apalagi kebutuhan unjuk
gigi terhadap fenomena kekinian pun menyebabkan berubahya stigma pemberlakuan
pada sebuah fenomena gerhana ntah bulan atau matahari.
Jika dulu gerhana dianggap sebagai bentuk kekuatan yang mengancam kehidupan alias sumber ketakutan maka di era kekinian fenomena gerhana justru menjadi sebuah santapan lezat para pencari aneka visual dengan gadget dan kamera-kamera canggih, mengabadikan lalu menshare di berbagai jagat media sosial sebagai pencitraan dan pameran esensi kehidupan.
Jika dulu gerhana dianggap sebagai bentuk kekuatan yang mengancam kehidupan alias sumber ketakutan maka di era kekinian fenomena gerhana justru menjadi sebuah santapan lezat para pencari aneka visual dengan gadget dan kamera-kamera canggih, mengabadikan lalu menshare di berbagai jagat media sosial sebagai pencitraan dan pameran esensi kehidupan.
Kenapa Harus Empat Ruku'
Sudah
bukan menjadi sebuah rahasia lagi bahwa Islam sangat menjunjung nilai
spiritualitas fenomena gerhana. Namun
spirit disini bukan merujuk pada si objek alias fenomena gerhana itu sendiri
melainkan spirit subjek dalam hal ini Allah SWT sebagai Dzat yang Maha Pencipta
hal-hal nyentrik, kun fayakun jadilah.
Dengan demikian Islam memandang fenomena gerhana sebagai salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah, sebagaimana dalam surat Fushilat: 37 bahwa langit dan bumi seisinya merupakan tanda-tanda kebesaran Allah.
Dengan demikian Islam memandang fenomena gerhana sebagai salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah, sebagaimana dalam surat Fushilat: 37 bahwa langit dan bumi seisinya merupakan tanda-tanda kebesaran Allah.
ÙˆَÙ…ِÙ†ْ آيَاتِÙ‡ِ اللَّÙŠْÙ„ُ ÙˆَالنَّÙ‡َارُ ÙˆَالشَّÙ…ْسُ ÙˆَالْÙ‚َÙ…َرُ Ù„َا تَسْجُدُوا Ù„ِلشَّÙ…ْسِ Ùˆَلا Ù„ِÙ„ْÙ‚َÙ…َرِ Ùˆَاسْجُدُوا Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ الَّذِÙŠ Ø®َÙ„َÙ‚َÙ‡ُÙ†َّ Ø¥ِÙ†ْ ÙƒُÙ†ْتُÙ…ْ Ø¥ِÙŠَّاهُ تَعْبُدُونَ
" Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan.
Janganlah kalian sujud (menyembah) matahari maupun bulan, tapi bersujudlah
kepada Allah yang menciptakannya, jika memang kalian beribadah hanya
kepada-Nya." (QS Fushilat: 37)
Nah,
sebab itu pula Islam mensyariatkan untuk melakukan shalat Gerhana tatkala
berjumpa dengan femomena gerhana, shalat Khusuf untuk gerhana bulan dan Kusuf
untuk gerhana matahari. Tentu sebagai penghormatan atas kehebatan Allah SWT
sang Kuasa, meskipun sebenarnya penghormatan yang dilakukan atau dinihilkan
oleh seorang hamba jelas-jelas tak merubah, menambah, dan mengurangi status
dogma Allah SWT sebagai raja Pencipta Lil Alamin.
Karena itu pula sholat gerhana lebih tepatnya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan seorang insan untuk berdialeka dengan Allah SWT, apalagi fenomena gerhana menjadi bukti nyata dahsyatnya Allah SWT raja perancang jagat Madyapada seisinya.
Karena itu pula sholat gerhana lebih tepatnya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan seorang insan untuk berdialeka dengan Allah SWT, apalagi fenomena gerhana menjadi bukti nyata dahsyatnya Allah SWT raja perancang jagat Madyapada seisinya.
Dialek
kali ini bukan menyinggung tentang dalil-dalil Islam terhadap gerhana atau
kaifiyah Shalat khusufain apabila terjadi fenomena gerhana. Hanya saja dialek
kali ini hanya sekedar nostalgia pada sebuah tugas mata kuliah pribadi saat
menimbah ilmu di UIN Maliki Malang
Saat itu diawal semester pribadi mendapat bagian untuk membahas mata kuliah IAD (Ilmu Alamiyah Dasar) dengan sub kajian gerhana bulan dan matahari, lalu mengintegrasikannya dengan kajian Islam sebagaimana konsep integrasi keilmuan yang dicanangkan kampus Ulul Albab saat itu.
Saat itu diawal semester pribadi mendapat bagian untuk membahas mata kuliah IAD (Ilmu Alamiyah Dasar) dengan sub kajian gerhana bulan dan matahari, lalu mengintegrasikannya dengan kajian Islam sebagaimana konsep integrasi keilmuan yang dicanangkan kampus Ulul Albab saat itu.
Sebagaimana
fenomena sains semacam teori perkembangan kehidupan atau fenomena peciptaan
alam seperti teori big bang dan beberapa sains lain. Terbukti bahwa teori sains
modern tersebut kerap kali justru ditemukan dalam kajian Islam melalui wahyu
Kitab Suci Al Qur’an. Sebab itu pula pribadi berusaha membedah lebih dalam
perihal fenomena gerhana beserta kaitannya dengan syariat atau ilmu-ilmu Islam.
Nah,
setelah bersusah payah berijtihat ala mahasiswa awam melalui berbagai
literature perpustakaan mini UIN Maliki Malang pribadi menemukan sebuah hal
unik berkaitan dengan Sholat gerhana sebagai salah satu Syari’at Islam.
Letak
istimewanya dimana ?, sebentar sebelum melanjutkan dialek guna menjawab
pertanyaan ini terlebih dahulu pribadi
paparkan sebuah pertanyaan lain berkaitan dengan shalat Gerhana. Sudah bukan
menjadi rahasia lagi bahwa rukun sholat gerhana terbilang berbeda dengan rukun
sholat pada umumnya.
Tepat, perbedaan mendasar adalah terletak pada gerakan ruku’ dobel disetiap rakaat. Hasilnya dalam shalat gerhana terdapat empat kali ruku’. Lantas mengapa ruku’ yang diharuskan berjumlah empat kali. Tentu jika ditanya pertanyaan semacam ini hampir kalangan muslim awam seperti pribadi menjawab dengan redaksi bahwa hal tersebut sudah jelas dinash dalam dalil Islam ntah Al Qur’an dan Hadist, tanpa tahu letak pastinya dimana dan bagaimana redaksi rill dalil tersebut.
Tepat, perbedaan mendasar adalah terletak pada gerakan ruku’ dobel disetiap rakaat. Hasilnya dalam shalat gerhana terdapat empat kali ruku’. Lantas mengapa ruku’ yang diharuskan berjumlah empat kali. Tentu jika ditanya pertanyaan semacam ini hampir kalangan muslim awam seperti pribadi menjawab dengan redaksi bahwa hal tersebut sudah jelas dinash dalam dalil Islam ntah Al Qur’an dan Hadist, tanpa tahu letak pastinya dimana dan bagaimana redaksi rill dalil tersebut.
Sudahlah
lewati saja mengkaji dalil toh pribadi sendiri masih awam dari hal-hal berbau
dalil yang tentunya membutuhkan pemahaman Ijtihad level super. Nah, karena itu
pula setelah bersusah paya berijtihad dengan literature pustaka pribadi
mendapatkan hal unik berkaitan dengan sholat gerhana, yang tentunya hal
tersebut akan semakin menguatkan kepercayaan terhadap kehebatan Syari’at dan Ilmu-ilmu
Islam.
Sebagaimana
dijelaskan diatas bahwa dalam sholat Gerhana terdapat hal unik yaitu gerakan
ruku’ yang dilakukan empat kali dalam dua rakaat. Jika diamati berdasarkan
sains, kita jelas mengerti bahwa gerakan ruku’ yang dilakukan ketika sholat
termasuk sholat gerhana itu membentuk sudut 90 derajat.
Nah, jika dalam tiap tiap ruku’ memiliki kandungan 90 derajat maka bagaimana dengan empat kali ruku’ dalam sholat gerhana. Coba kita kali bersama, Sembilan puluh derajat dikali empat sama dengan tiga ratus enam puluh derajat ( 90 x 4 = 360 ). Angka 360 yang didapat disini bukan sembarang angka yang tak ada artinya. Lantas apa kaitannya angka 360 tersebut dengan perihal fenomena gerhana yang terjadi, baik gerhana bulan atau matahari.
Nah, jika dalam tiap tiap ruku’ memiliki kandungan 90 derajat maka bagaimana dengan empat kali ruku’ dalam sholat gerhana. Coba kita kali bersama, Sembilan puluh derajat dikali empat sama dengan tiga ratus enam puluh derajat ( 90 x 4 = 360 ). Angka 360 yang didapat disini bukan sembarang angka yang tak ada artinya. Lantas apa kaitannya angka 360 tersebut dengan perihal fenomena gerhana yang terjadi, baik gerhana bulan atau matahari.
Sekedar
review bersama bahwa tatkala gerhana tiba baik bulan atau matahari, maka posisi
trilogi benda jagat semesta; Planet Bumi, Bulan sang satelit, dan Sang Bintang
raksaksa Matahari, ketiganya terletak dalam posisi satu garis lurus. Gerhana
bulan terjadi karena posisi bulan terhalang oleh bumi sehingga sinar matahari
tidak bisa mencapai bulan karena terhalang bumi., sebaliknya gerhana matahari
terjadi karena posisi sang mega bintang terhadap bumi terhalang oleh posisi
bulan yang menutupi celah antara matahari ke bumi yang berakhibat sinar
matahari pada bumi terhalang oleh bulan.
Tatkala
terjadi gerhana baik bulan atau matahari didapat sebuah simpulan kesamaan bahwa
untuk dapat terjadi gerhana maka posisi
antar ketiga benda jagat semesta tersebut haruslah berada dalam sebuah
garis lurus. Nah, adapun garis lurus sempurna yang sejajar itu terbentuk dari
posisi 360 derajat.
Disinilah letak keunikan dari sebuah sholat gerhana yang terdapat rukun khusus yakni empat kali ruku’, dimana jika dijumlah posisi derajat yang membangun posisi ruku maka akan menemukan angka 180 derajat dari sepasang ruku’ yang memangun posisi 90 derajat. Belum lagi angka 360 yang dihasilkan dari jumlah seluruh derajat empat ruku yang membentuk sebuah lingkaran penuh.
Disinilah letak keunikan dari sebuah sholat gerhana yang terdapat rukun khusus yakni empat kali ruku’, dimana jika dijumlah posisi derajat yang membangun posisi ruku maka akan menemukan angka 180 derajat dari sepasang ruku’ yang memangun posisi 90 derajat. Belum lagi angka 360 yang dihasilkan dari jumlah seluruh derajat empat ruku yang membentuk sebuah lingkaran penuh.
Kesimpulannya
adalah sholat gerhana bukan sekedar sebuah ibadah fardhiyyah yang tanpa sebuah
hikmah. Melainkan tersimpan sebuah hikmah dan faidhah dimana salah satunya
adalah pesan tentang sebuah sains dari fenomena gerhana.
Angka 180 maupun 360 derajat yang terbangun dari penjunlahan ruku’ menjadi afirmasi terhadap fenomena gerhana yang memang terjadi dari bangunan segaris antar tiga benda langit yang membentuk garis lurus 180 derajat dan 360 derajat untuk penisbatan bentuk lingkaran tiga bentang semesta tersebut baik bentuk fisik atau pun siklus melingkar rotasi dan revolusi.
Angka 180 maupun 360 derajat yang terbangun dari penjunlahan ruku’ menjadi afirmasi terhadap fenomena gerhana yang memang terjadi dari bangunan segaris antar tiga benda langit yang membentuk garis lurus 180 derajat dan 360 derajat untuk penisbatan bentuk lingkaran tiga bentang semesta tersebut baik bentuk fisik atau pun siklus melingkar rotasi dan revolusi.
Sementara
menurut penafiran bebas pribadi saat presentasi dalam mata pelajaran Ilmu Alamiyah
Dasar waktu kala saat itu, kaitan dengan empat ruku’ dalam sholat gerhana bukan
hanya sekedar integrasi pesan angka 360 derajat melainkan ada kaitan lain. Dalam
hal ini dua ruku’ dari rangkaian empat ruku’ dalam shalat gerhana, dengan
rincian ruku’ pertama dan ruku’ ketiga. Dua ruku’ tersebut merupakan sebuah
ruku’ bayangan yang membayangi dua ruku’ lain (ruku’ kedua dan keempat) dari
tiap rakaat secara sempurna.
Dengan demikan dua ruku’ bayangan sebagaimana dalam shalat gerhana seakan mengisyaratkan pula tentang fenomena Umbra dan Penumbra yang merupakan dua bayangan yang terbentuk dalam proses gerhana. Subhanallah !!!.
Dengan demikan dua ruku’ bayangan sebagaimana dalam shalat gerhana seakan mengisyaratkan pula tentang fenomena Umbra dan Penumbra yang merupakan dua bayangan yang terbentuk dalam proses gerhana. Subhanallah !!!.
![]() |
Posisi Segaris Tiga Benda Jagat |
( Dibuat pada 31 Januari 2018 Pada Malam Gerhana Bulan Total)
0 Komentar
Terima kasih atas masukan anda.